SERAYUNEWS- Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengeluarkan dua putusan penting terkait uji materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ini menyusul gugatan dari dua warga negara, yakni Jovi Andrea Bachtiar dan Daniel Frits Maurits Tangkilisan.
Putusan tersebut membawa angin segar bagi kebebasan berekspresi serta kepastian hukum dalam penegakan UU ITE yang selama ini kerap dianggap multitafsir.
Sebagai informasi, MK menerbitkan dua putusan dalam perkara ini:
Masing-masing gugatan menyoroti pasal-pasal yang berbeda dalam UU ITE dan KUHP yang dianggap kabur dan berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara.
Dalam permohonannya, Jovi meminta Mahkamah untuk meninjau ulang dan mengubah sejumlah ketentuan, yakni:
Permohonan ini berlandaskan kekhawatiran terhadap penafsiran yang terlalu luas, khususnya terkait istilah “kerusuhan”. Karena dapat jadi alat represif terhadap ekspresi publik di media sosial.
MK menyatakan bahwa penyebaran informasi yang menyebabkan “kerusuhan” hanya dapat kena pidana jika kerusuhan tersebut terjadi di ruang fisik. Bukan semata-mata kegaduhan atau polemik di ruang digital.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa penegakan hukum harus memiliki parameter yang jelas. Agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekhawatiran kriminalisasi ekspresi warga.
Daniel dalam perkara No. 105/PUU-XXII/2024, menggugat beberapa pasal lainnya, yakni:
Daniel menilai pasal-pasal ini terlalu lentur dan dapat di manfaatkan oleh institusi atau korporasi untuk membungkam kritik masyarakat.
Putusan MK: Mahkamah kembali mengabulkan sebagian permohonan tersebut.
Salah satu poin pentingnya adalah bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A hanya sebagai individu atau perseorangan, bukan lembaga, jabatan, profesi, atau korporasi.
Artinya, hanya pribadi yang dapat menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik berdasarkan pasal ini.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa kejelasan hukum sangat penting agar pasal ini tidak digunakan sewenang-wenang.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi tonggak penting dalam reformasi UU ITE yang selama ini menjadi ‘pasal karet’.
Dengan penafsiran yang lebih spesifik, seperti pembatasan pelapor dan batasan wilayah dampak “kerusuhan”, MK telah mempertegas pentingnya perlindungan terhadap hak berpendapat. Sekaligus menekankan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara proporsional dan tidak diskriminatif.
Langkah MK ini dapat apresiasi banyak kalangan, sebagai bentuk koreksi terhadap UU ITE, agar lebih adil dan berpihak pada prinsip demokrasi.