SERAYUNEWS- Kalau kamu sering mengikuti perbincangan politik di Indonesia, istilah presidential threshold pasti sudah tak asing lagi.
Istilah ini selalu jadi bahan diskusi hangat setiap kali Pemilu mendekat. Nah, kabar terbarunya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus aturan ini.
Namun, sebenarnya apa presidential threshold itu dan apa dampaknya setelah dihapus? Yuk, kita bahas!
Setelah bertahun-tahun menjadi kontroversi, MK akhirnya memutuskan untuk menghapus aturan presidential threshold.
Alasannya? Menurut Mahkamah Konstitusi, aturan ini bertentangan dengan konstitusi, karena membatasi peluang partai kecil atau independen untuk mengajukan calon pemimpin bangsa.
Selain itu, penghapusan aturan ini juga harapannya bisa memperluas peluang calon-calon alternatif yang mungkin selama ini terhalang oleh dominasi partai besar.
Dengan lebih banyak kandidat, rakyat punya lebih banyak pilihan untuk menentukan pemimpin yang terbaik.
Presidential threshold adalah ambang batas minimal suara yang harus dimiliki partai politik atau gabungan partai untuk bisa mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Di Indonesia, ambang batas ini diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Aturan ini mensyaratkan bahwa hanya partai politik atau koalisi yang memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya yang berhak mencalonkan pasangan capres-cawapres.
Tujuannya, untuk menyederhanakan jumlah kandidat dan memastikan stabilitas politik.
Namun, aturan ini sering mendapat kritikan. Banyak yang bilang presidential threshold justru membatasi pilihan rakyat, memonopoli pencalonan pada partai besar, dan mengurangi semangat demokrasi.
Keputusan MK ini jelas membawa angin segar untuk demokrasi Indonesia, tapi juga ada beberapa tantangan. Berikut beberapa dampaknya.
1. Lebih Banyak Kandidat
Tanpa ambang batas, semua partai politik, besar maupun kecil, punya peluang yang sama untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Hasilnya, pemilu mungkin jadi lebih kompetitif dan dinamis.
2. Meningkatkan Partisipasi Politik
Partai-partai kecil yang sebelumnya terpinggirkan kini punya peluang lebih besar untuk bersaing. Hal ini bisa mendorong mereka lebih aktif dalam menawarkan program dan visi yang menarik untuk rakyat.
3. Potensi Pemecah Suara
Namun, jumlah kandidat yang lebih banyak juga bisa membuat suara rakyat terpecah-pecah. Hal ini berpotensi menimbulkan putaran kedua dalam pemilu, yang tentunya memerlukan biaya dan waktu lebih.
4. Koalisi Setelah Pemilu
Karena tidak ada lagi syarat threshold, koalisi antarpartai kemungkinan besar baru akan terbentuk setelah pemilu. Ini bisa membuat dinamika politik jadi lebih cair, tapi juga berpotensi menimbulkan instabilitas di awal pemerintahan.
Penghapusan presidential threshold oleh MK adalah langkah besar menuju demokrasi yang lebih inklusif dan adil.
Meski di satu sisi akan menimbulkan tantangan baru, harapannya keputusan ini bisa membuka ruang bagi munculnya pemimpin-pemimpin terbaik dari berbagai latar belakang.
Sebagai rakyat, tugas kita adalah terus aktif mengikuti perkembangan politik, kritis terhadap pilihan yang ada, dan tentunya menggunakan hak suara dengan bijak.
Pemilu bukan sekadar soal memilih pemimpin, tapi juga menentukan arah masa depan bangsa.
Bagaimana menurut kamu? Apakah keputusan ini langkah maju atau justru berpotensi menimbulkan kekacauan baru?***(Ika Sriani)