SERAYUNEWS- Pemerintah Republik Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 52 Tahun 2025, sebagai bagian dari penyempurnaan regulasi perpajakan di sektor perdagangan emas.
Aturan ini hadir seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap emas, baik dalam bentuk fisik maupun digital, sebagai instrumen investasi yang tahan terhadap inflasi.
Menurut data Bappebti, nilai perdagangan emas fisik digital periode Januari-September 2024 melonjak drastis menjadi Rp 41,3 triliun, naik lebih dari 1.000 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Melansir artikel Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gede Suarnaya di laman pajak.go.id, lonjakan ini mendorong pemerintah menyesuaikan kebijakan perpajakan agar tetap relevan dan adil.
Terutama dalam mendukung pengembangan kegiatan usaha bullion yang kini telah memiliki dasar hukum melalui POJK No.17 Tahun 2024. Berikut kami sajikan ulasan selengkapnya:
PMK 52 Tahun 2025 merupakan revisi atas PMK 48 Tahun 2023 yang mengatur pengenaan PPh dan PPN atas transaksi penjualan emas batangan, perhiasan emas, perhiasan bukan emas, batu permata, serta jasa terkait.
Penyesuaian ini tidak mengubah tarif, melainkan mempertegas pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 pada penjualan emas batangan oleh pelaku usaha tertentu, kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang menyelenggarakan kegiatan usaha bullion.
Aturan ini mulai berlaku per 1 Agustus 2025, sesuai Pasal II PMK 52/2025.
PMK ini memperluas pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 kepada:
1. Konsumen akhir.
2. Wajib Pajak dengan PPh final dan peredaran bruto tertentu (disertai surat keterangan terverifikasi).
3. Wajib Pajak dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) sesuai peraturan perpajakan.
Menariknya, pengecualian ini mereka berikan tanpa syarat SKB, sehingga pembelian emas batangan dari pihak tertentu tidak dikenai pemungutan PPh Pasal 22, memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi.
Bersamaan dengan PMK 52, pemerintah juga mengeluarkan PMK 51 Tahun 2025.
Aturan ini mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas transaksi di bidang impor dan kegiatan usaha lainnya, termasuk perdagangan emas dalam bentuk bullion trading.
PMK ini memuat 4 bab dan 15 pasal yang secara rinci menjelaskan:
Pasal kunci dalam PMK ini meliputi:
1. Pasal 2 ayat (1) huruf i: LJK penyelenggara usaha bullion wajib memungut PPh Pasal 22.
2. Pasal 3 ayat (1) huruf h: Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga beli emas batangan (belum termasuk PPN).
3. Pasal 4 ayat (1) huruf e angka 8: Pembelian emas batangan senilai maksimal Rp 10 juta tidak dikenakan PPh Pasal 22.
4. Pasal 5 ayat (8): PPh Pasal 22 terutang dan dipungut saat pembelian berlangsung.
Untuk menciptakan keadilan, PMK 51/2025 juga menetapkan tarif PPh Pasal 22 atas emas batangan impor sebesar 0,25 persen dari nilai impor.
Hal ini menciptakan perlakuan setara antara emas yang dibeli di dalam negeri dan yang diimpor.
Sebelumnya, PMK 81 Tahun 2024 mengecualikan pemungutan PPh atas impor emas batangan yang akan diproses menjadi perhiasan untuk ekspor, selama dilengkapi SKB.
Kini, kesetaraan tarif berlaku untuk semua pembelian emas batangan, baik lokal maupun impor.
Pada Bab III PMK 51/2025, pemerintah menegaskan:
1. SKB yang sudah terbit tetap berlaku hingga masa berlakunya habis.
2. Permohonan SKB yang belum selesai diproses akan tetap mengikuti ketentuan lama (PMK 81/2024).
3. SKB yang telah diajukan sebelum peraturan berlaku tetap berlaku seperti sebelumnya.
Hasil studi McKinsey menunjukkan bahwa pengembangan industri bullion dan pendirian bullion bank dapat mendorong ekonomi nasional.
Potensi manfaatnya antara lain:
1. Menambah PDB sebesar Rp 245 triliun.
2. Menciptakan 800.000 lapangan kerja.
3. Mengedarkan uang hingga Rp 156 triliun.
4. Meningkatkan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,06 persen.
Regulasi dalam PMK 51 dan PMK 52 Tahun 2025 bertujuan memberikan kepastian hukum, efisiensi administrasi, dan kesetaraan perlakuan pajak.
Dengan pengecualian pemungutan pajak yang lebih luas dan tarif yang seragam, masyarakat dapat lebih tenang dalam berinvestasi emas tanpa khawatir terkena pungutan pajak berlapis.
Langkah ini harapannya tidak hanya memperkuat sektor keuangan nasional, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.