SERAYUNEWS– Pada 2014, Jokowi berjanji akan mengusut kasus tersebut apabila terpilih menjadi presiden nanti.
“Ya, jelas harus ditemukan dong. Bisa ditemukan hidup atau ditemukan meninggal, harus jelas. Tentang nanti ada sebuah rekonsiliasi dari fakta-fakta ya tidak jadi soal. Masa 13 orang hilang enggak ketemu, enggak jelas nasibnya,” ujar Jokowi di Media Centre Jokowi-JK, Jl. Sukabumi 23, Menteng, Senin (9/6/2014).
Karena janji manis itu, keluarg Wiji Thukul kemudian ikut hadir saat deklarasi Sekretariat Nasional (Seknas) Muda Jokowi Solo pada 3 Mei 2014.
Periode pertama Presiden Jokowi berlalu tanpa ada kemajuan apapun. Masuk periode kedua, pada Agustus 2022 baru Presiden Jokowi meneken Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.
Tetapi hanya itu, setelahnya tak ada kemajuan berarti. Sampai kemudian,
Siti Dyah Sujirah alias Mbak Pon, istri Wiji Thukul, meninggal pada 5 Januari 2023. Memang Presiden Jokowi mengirinkan karangan bunga sebagai tanda ikut berduka. Namun, itu tidak mengibati luka keluarga apalagi menyelesaikan masalah.
Sampai akhirnya tiba pada 2024, jelang selesai masa jabatan Presiden. Bukan kemajuan pelaksanaan janji Jokowi, tetapi justru melakukan endorsement terhadap pencapresan Prabowo.
Tak cukup sampai di situ, Jokowi lantas memberi pangkat jenderal kehormatan. Wajar jika kemudian pengajar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Agus Wahyudi, menyatakan pendapatnya. Dia menilai tindakan pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo sebagai suatu cacat moral dan kurangnya empati.
“Keputusan ini mencerminkan cacat moral karena tidak mempertimbangkan argumen mengenai kesalahan moral masa lalu Prabowo, yang menjadi alasan pemecatannya dari TNI. Hal ini menyoroti kurangnya pertimbangan terhadap dampak moral dari tindakan tersebut,” kata Agus (28/2/2024).
Agus menyatakan bahwa Jokowi seharusnya menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.
“DPR perlu memanggil dan meminta pertanggungjawaban langsung kepada Jokowi,” katanya.
Senada dengan Agus, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menyatakan pemberian gelar kehormatan jenderal bintang empat ke Prabowo merupakan bentuk penghinaan dan merendahkan korban serta para pembela hak asasi manusia (HAM), terutama yang terlibat tragedi penculikan aktivis 1997-1998.S
Selain itu, Halili juga menilai pemberian kenaikan pangkat ini tidak sah dan ilegal. Menurutnya, Prabowo tidak masuk kualifikasi karena pensiun dari militer diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres Nomor 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun.
“Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran, kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” tambah Halili (28/2/2024).
Entah apa yang Wiji Thukul pikirkan saat ini dari balik kuburnya. Merdeka dalam arti sesungguhnya belum juga terjadi. Sebagaimana ia tulis dalam buklet kumpulan puisi berjudul Para Jendral Marah-Marah.
malam yang gelap ini untukku/ malam yang gelap ini selimutku/ selamat tidur tanah airku/ selamat tidur anak istriku/ saatnya akan tiba/ bagi merdeka/ untuk semua
Jangan biarkan para intelektual bermain dengan korek api, begitu kata penyair Prancis, Jacques Prevert. Pemberian kenaikan pangkat kehormatan ini sama dengan memberi korek api, akibatnya bisa berbahaya.*** (O Gozali)