Cilacap, serayunews.com
Imbasnya, bujet untuk pertahanan pun ikut dipangkas. Namun ancaman Jepang yang mulai menyerang ke berbagai wilayah di Asia membuat pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. “Ketika ancaman Jepang sudah tidak lagi ditafsirkan sebagai kepentingan bisnis belaka, melainkan ekspansi teritorial, pemerintah Hindia Belanda segera membenahi diri untuk urusan-urusan pertahanan.
Pada saat ini jugalah Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun 1941. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Nino Oktorino dalam bukunya Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia 1941-45 (2016), menyebut Cilacap sebagai satu-satunya pelabuhan yang baik di pantai selatan Jawa. Ia menambahkan bahwa apabila Laut Jawa di sebelah utara terancam oleh kekuatan musuh, Cilacap merupakan pintu gerbang bagi pulau Jawa untuk berhubungan dengan dunia luar, khususnya Australia.
Jauh sebelum diperuntukkan sebagai “pintu belakang” untuk melarikan diri dari gempuran balatentara Jepang, sebenarnya pelabuhan Cilacap ini telah dijadikan pelabuhan pertahanan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa (2002), Susanto Zuhdi menerangkan bahwa setelah runtuh, pemerintah Hindia Belanda mulai serius memperhatikan Cilacap sejak tahun 1830.
Mulai tanggal 4 Desember tahun tersebut, mereka menetapkan pos Nusa Kambangan masuk sebagai garnisun kecil di pulau Jawa. “Untuk itu ditempatkanlah seorang letnan, dua sersan dan dua orang kopral Eropa, ditambah dua sersan, dua kopral, satu penabuh tambur, dan 53 prajurit bersenjata senapan”.
Prediksi atas agresifnya pasukan Jepang adalah serangan-serangan terhadap pantai utara Jawa yang akan melumpuhkan nadi perniagaan. Jika hal itu terjadi, maka pusat perdagangan di perairan laut Jawa dan Sumatera akan dipindahkan ke Cilacap. Menyikapi hal tersebut, maka Pelabuhan Cilacap kembali mendapat perhatian lebih dari pemerintah Hindia Belanda terlebih pada Mei 1940, saat Belanda diduduki Jerman, situasi semakin genting. Pada saat itulah pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memperluas kemampuan Pelabuhan Cilacap, baik untuk perniagaan maupun untuk kebutuhan militer. “
Jika Laut Jawa diblokade musuh, maka Cilacap dan beberapa pelabuhan kecil lainnya di pantai selatan Jawa, seperti Pelabuhan Ratu (Wijnkoopsbaai), Genteng, Cilaut Eureun, Parigi Pacitan, Teluk Parigi, dan Teluk Popoh diharapkan dapat digunakan,” jelas Susanto Zuhdi dalam bukunya (hlm. 170). Sementara Nino Oktorino dalam bukunya, Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia 1941-45 (2016), menerangkan bahwa strategi menjadikan Jawa sebagai pertahanan terakhir dan Cilacap sebagai salah satunya, terpaksa mengorbankan pulau-pulau lain beserta kota-kotanya.
Nino menambahkan bahwa tujuan dari strategi tersebut adalah supaya mereka dapat menghadapi balatentara Jepang yang menyerang pulau Jawa. Untuk memperlambat gerak pasukan Negeri Matahari Terbit tersebut, dibebankan kepada pasukan KNIL yang bertugas di luar Jawa.
Apabila pasukan Jepang yang ada di Jawa sudah dihancurkan, pasukan KNIL, dengan bala bantuan dan armada laut sekutu, akan merebut kembali pulau-pulau lain yang telah dikuasai musuh. Ini merupakan grand strategy pasukan Belanda. Akan tetapi, seiring dengan hancurnya armada laut Sekutu di Laut Jawa maka strategi Belanda tersebut berantakan. Jepang kemudian tiba di Jawa. Mereka mendarat di Teluk Banten, Eretan Wetan, dan Kragan. Satu divisi yang mendarat di Kragan kemudian dipecah, sebagian menuju Surabaya dan lanjut ke Malang, satu lagi menuju Cilacap.
Selama tiga hari Cilacap dibombardir pesawat Jepang sebelum akhirnya Belanda menyerah. “Rencana menjadikan Cilacap sebagai pintu belakang untuk tujuan evakuasi ternyata tidak sepenuhnya berhasil,” jelas Susanto Zuhdi dalam bukunya.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia- Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama. Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang yaitu: Pembela Tanah Air (Peta), Gakukotai (laskar pelajar), Heiho (barisan cadangan prajurit), Seinendan (barisan pemuda), Fujinkai (barisan wanita), Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Jawa Hokokai Keibodan (barisan pembantu polisi), Jibakutai (pasukan berani mati), Kempetai (barisan polisi rahasia).
Berbagai tindakan nyata yang dilakukan Jepang saat pendudukannya di Nusantara
berupa pembentukan badan-badan kerjasama seperti: