SERAYUNEWS— Kampus Lengger tersemat pada Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas. Keberadaan lengger atau ronggeng Banyumas tak lepas dari sejarah desa ini.
Dari desa ini telah lahir ribuan penari lengger di Banyumas Raya. Desa ini menjadi inspirasi novelis Banyumas, Ahmad Tohari, dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang masuk dalam mahakarya sastra Indonesia.
Berdasarkan penuturan warga Gerduren, lengger di Gerduren konon lahir sejak munculnya sosok Nyi Kuning. Nyi Kuning yang konon mempunyai nama asli Nyi Kastinem ini konon datang di tahun 1812.
Nyi Kuning penari pendatang ini memiliki logat pasundan. Ia manggung di pernikahan lurah pertama Genduren. Iringan musiknya bernama keclung yang diyakini warga menjadi cikal bakal calung.
Seperti kedatangannya yang misterius, kepergian Nyi Kuning juga tak jelas ke mana. Konon dia berpamitan ke arah Maos, tetapi malah ke utara.
Sejak itu, para seniman lengger yang ingin terkenal biasanya akan datang ke Gerduren, untuk nggayuh indhang lengger Nyai Kuning. Nyai Kuning atau Kastinem konon adalah maestro lengger Gerduren yang legendaris sekaligus mistis.
Siapapun perempuan bisa menjadi lengger asalkan mau melakoni tiap tahapan pembelajaran fisik, batin dalam kurun waktu tertentu. Di masa lampau untuk menjadi lengger andal, seorang gadis umur 9 tahun biasanya sudah mulai belajar menari dan menyanyi.
Selain olah fisik dan olah suara, para calon penari lengger juga biasanya melakukan laku batin mulai dari puasa, mandi di sumur lengger.
Sumur Gowa desa itu dan petilasan Nyi Kastinem adalah situs purbakala di Gerduren yang sering menjadi tujuan dari lengger.
Setelah cukup, mereka akan diwisuda menjadi lengger oleh sesepuh lengger. Perempuan lengger akan ditutup kusan (alat kukus berbentuk kerucut dari anyaman bambu). Mereka juga menjalani mandi kembang.
Di hadapan sesepuh lengger, calon lengger akan mempertunjukkan kebolehannya dalam menari dan tiap lengger wajib menyanyikan lagu “Sekar Gadhung”.
Masa kejayaan lengger di desa ini perlahan mulai memudar. Pernah ada satu keluarga yang menjaga tradisi ini, yaitu Keluarga Sandikin. Tak hanya saat hidup dia sangat mencintai lengger. Saat meninggal tahun 1980-an, pemakamannya diiringi tembang wajib lengger yaitu “Sekar Gadhung” dan musik calung Banyumasan.
Jika tidak ada upaya melestarikan, ronggeng Banyumasan hanya tinggal cerita. Anak cucu kita hanya bisa menonton film “Sang Penari” dari “Trilogi Dukuh Paruk”. Mereka hanya mengenal Srinti dan Rasus tetapi tidak mengena religiusitas ronggeng Banyumasan.*** (O Gozali)