Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu film sejarah yang paling kontroversial dan signifikan dalam sejarah sinema Indonesia.
Film ini diproduksi pada tahun 1981 oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN), dan disutradarai oleh Arifin C. Noer, seorang sutradara ternama yang terkenal dengan karya-karya yang berfokus pada tema sosial dan politik.
Latar Belakang Film G30S PKI
Film ini dibuat dengan tujuan untuk memperingati peristiwa Gerakan 30 September (G30S), yaitu sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh sejumlah elemen dalam tubuh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965.
Kudeta tersebut bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan menggantinya dengan kekuatan yang dikendalikan oleh PKI.
Dalam peristiwa tersebut, enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwira lainnya dibunuh, yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Pada era Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, film ini diciptakan sebagai bagian dari propaganda anti-komunis untuk memperkuat narasi pemerintah mengenai peristiwa tersebut.
Pemerintah Orde Baru ingin memastikan bahwa versi sejarah yang disampaikan sesuai dengan narasi resmi yang menggambarkan PKI sebagai dalang utama dalam peristiwa tersebut.
Proses Produksi Film G30S PKI
Produksi film Pengkhianatan G30S/PKI berlangsung dengan biaya besar dan pengawasan ketat dari pemerintah Orde Baru.
Film ini diproduksi dengan standar sinematik yang cukup tinggi untuk masa itu, melibatkan banyak aktor, latar sejarah yang terperinci, serta penggunaan efek khusus yang cukup canggih.
Arifin C. Noer, sebagai sutradara, menghadapi tantangan besar dalam mengarahkan film yang mengandung muatan politik yang berat.
Meski begitu, film ini diproduksi dengan tujuan edukatif dan menjadi salah satu film wajib yang ditonton oleh siswa sekolah serta masyarakat umum selama era Orde Baru.
Setiap tanggal 30 September, film ini ditayangkan secara serentak di stasiun televisi nasional untuk mengingatkan masyarakat tentang “bahaya laten komunisme.”
Dampak dan Kontroversi
Film ini berdampak besar dalam membentuk persepsi publik tentang peristiwa G30S/PKI selama bertahun-tahun.
Namun, setelah reformasi 1998 dan runtuhnya rezim Orde Baru, film ini mulai mendapat sorotan kritis.
Sejumlah sejarawan dan peneliti mulai mempertanyakan akurasi sejarah yang ditampilkan dalam film tersebut, dan banyak yang menyebut film ini sebagai alat propaganda yang menyederhanakan dan memanipulasi fakta sejarah untuk mendukung kepentingan politik Orde Baru.
Sejak reformasi, film ini tidak lagi diwajibkan untuk ditonton secara massal, dan tayangannya di televisi juga dihentikan.
Namun, perdebatan tentang film ini masih sering muncul, terutama dalam konteks pembahasan sejarah politik Indonesia dan upaya rekonsiliasi dengan masa lalu.***