
SERAYUNEWS – Paska terjadinya bencana banjir bandang di Sumatera, banyak muncul di jaga maya tentang lokasi penambangan di sejumlah wilayah.
Tidak terkecuali di wilayah Kabupaten Banyumas. Isu tentang kerusakan kawasan hutan Gunung Slamet kembali mencuat.
Sejumlah akun sosial mengunggah penampakan visual sejumlah titik gundul di kawasan hutan Gunung Slamet.
Unggahan itu dinarasikan bahwa kerusakan hutan itu merupakan dampak dari aktivitas penambangan.
Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran masyarakat, akan berdampak seperti peristiwa di Sumatera.
Ketua Tim Pendirian Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Ir Adi Candra ST MT, menyampaikan bahwa narasi yang disebarkan belakangan ini tidak tepat.
“Narasi yang beredar awalnya menyebut itu adalah eksplorasi gas alam. Saya berpikir dan penasaran, bagaimana mungkin ada eksplorasi gas alam di gunung api? Itu tidak mungkin saat ini,” kata Ir Adi Candra, Senin (7/12/2025).
Hasil penelusuran dan pengamatannya, lokasi kawasan hutan yang tandus itu merupakan bekas jalan proyek panas bumi PT SAE beberapa tahun lalu.
“Dulu rencananya jalan itu akan disambungkan dari punggungan Gunung Slamet sampai ke Cilongok, ke Curug Cipendok,” ujarnya.
Lokasi yang tampak gundul di punggungan Gunung Slamet itu bukan hasil aktivitas tambang. Hal itu sangat tidak sesuai jika dilihat dari beberapa alasan.
“Area yang terbuka itu berada di punggung gunung. Kita tahu, di punggungan gunung-gunung di Indonesia itu isinya hanya tanah, lapukan batuan. Jadi kok rasanya tidak make sense menambang tanah seperti itu,” katanya.
Lebih lanjut Ir Adi Candra menjelaskan, selain tidak logis secara geologi, akses logistik pun tidak memungkinkan.
“Kalau benar ada tambang, mestinya bisa dicegat saja di daerah Kaligua, karena itu satu-satunya jalan akses ke bawah. Benar atau tidak ada truk lalu-lalang lewat situ, pasti terlihat,” katanya.
Selain isu tambang, Adi juga menyoroti kemungkinan bahwa citra Google Maps yang viral tersebut belum diperbarui.
“Saya pernah juga menemui kondisi serupa. Ternyata Google Maps-nya belum update. Dulu memang ada aktivitas pembuatan jalan untuk panas bumi, tapi proyek itu kan sekarang postpone,” katanya.
Karena itu, ia meminta pemerintah Kabupaten Banyumas segera mengecek ke lokasi agar masyarakat mendapatkan kepastian.
“Isu ini sangat sensitif, apalagi dengan perubahan cuaca ekstrem. Kami tidak ingin imbasnya terjadi seperti di Sumatera Utara,” katanya.
Ir Adi menegaskan, pembukaan jalan atau akses menuju kawasan hutan tidak otomatis menimbulkan dampak buruk asalkan dikelola dengan benar.
“Kalau dikelola dengan baik, justru bisa membuka jalur ekonomi baru. Ada jalan, ada pergerakan ekonomi masyarakat,” katanya.
Namun apabila tidak dikelola, dampaknya bisa fatal. Ia mencontohkan kejadian ketika Banyumas ramai soal eksplorasi panas bumi beberapa tahun lalu.
“Waktu itu Curug Cipendok sempat banjir dan airnya keruh sekali. Ternyata material pembuangan dari pembukaan jalan di atas curug dibuang langsung ke lembah sungai di Gunung Slamet. Lembah itu mengalir langsung ke Curug Cipendok, ya jadilah keruh,” jelasnya.
Adi menekankan pentingnya pertanggungjawaban pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten atas proyek yang ditinggalkan begitu saja.
“Harus ada kebijakan untuk menagih kewajiban penghijauan kembali jika proyek tidak dilanjutkan. Dan ini wajib AMDAL. Kegiatan apapun wajib memastikan lingkungan tidak terdampak. Kalau ditinggalkan, wajib dihijaukan lagi,” ujarnya.
Ia menutup dengan penegasan bahwa isu tambang tanah jauh dari logika ekonomi.
“Kalau tambang hanya mengambil tanah, tidak mungkin. Cost-nya tinggi sekali,” kata Adi.