SERAYUNEWS— Tanggal 5 Agustus diperingati sebagai Hari Dharma Wanita Nasional. Dharma Wanita sendiri merupakan organisasi yang beranggotakan istri Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Mengutip dari laman resmi Dharma Wanita Persatuan, organisasi Dharma Wanita mulanya dibentuk tanggal 5 Agustus 1974 tepat pada masa pemerintahan Orde Baru dengan nama Dharma Wanita.
Ibu Tien sebagai Ibu Negara pada masa itu merupakan orang yang memprakarsai pembentukan organisasi ini.
Ibuisme negara merupakan ideologi gender yang memosisikan istri sebagai pendamping suami sekaligus ibu rumah tangga yang salah satu tugas utamanya adalah mengurus dan membesarkan anak. Tugas utama tersebut ada dalam Panca Dharma Wanita.
Tertulis dalam Panca Dharma Wanita, perempuan sebagai istri pendamping suami, ibu rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik anak, pencari nafkah tambahan, serta warga negara dan anggota masyarakat.
Dari kelima pedoman itu, terlihat bahwa perempuan tidak memiliki identitas sebagai individu. Perannya berkaitan dengan pasangan, laki-laki, dan negara—sebuah bukti rezim Orde Baru mendomestifikasi perempuan di balik dalil pembangunan nasional.
Pada awal periode reformasi 1998-1999, organisasi Dharma Wanita menuai begitu banyak kritik karena orang anggap melanggengkan patriarki dengan membatasi peran perempuan hanya pada ranah domestik. Dharma Wanita kemudian bertransformasi dengan nama baru Dharma Wanita Persatuan (DWP).
Salah satu reformasi adalah pemilihan ketua Dharma Wanita secara demokratis yang dulu tertuang dalam Anggaran Dasar DWP 1999.
Namun, ternyata telah kembali pada cara lama, yaitu mengikuti jabatan suami. Ketua tidak terpilih karena visi misi dan kapabilitasnya, melainkan semata karena jabatan suaminya.
Ruh militer juga masih mewujud dalam kewajiban berseragam dalam berkegiatan, yang merepresentasikan pentingnya kesatuan pandangan dan kurangnya ruang untuk ekspresi individu.
Kegiatan Dharma Wanita juga masih dominasi di ranah domestik. Misalnya, pelatihan merangkai bunga meja, menari dan bermain alat musik tradisional, keterampilan memasak, bakti sosial, pendidikan pengasuhan anak. Semua kegiatan bertujuan mendukung narasi pembangunan.
Tentu saja itu semua adalah kegiatan yang bermanfaat, tetapi tidak seharusnya kita asosiasikan sebagai kegiatan perempuan semata. Ini akan berimplikasi pada terbatasnya ruang imajinasi bagi perempuan yang bergabung di Dharma Wanita terhadap minat dan aspirasi lebih luas.
Harapan bahwa Dharma Wanita akan bertransformasi menjadi organisasi yang mendorong perempuan berpikiran mandiri, kritis, dan demokratis juga tampaknya masih jauh.***(Kalingga Zaman)