SERAYUNEWS – Menjelang Idul Adha, ibadah kurban menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Tidak sedikit orang yang ingin berkurban tetapi terkendala biaya.
Di sinilah konsep patungan kurban menjadi jawaban. Dalam Islam, Anda diperbolehkan untuk berkurban secara kolektif, khususnya untuk hewan besar seperti sapi dan unta.
Menurut hadits riwayat Muslim, Nabi Muhammad SAW pernah menyembelih satu ekor sapi untuk tujuh orang sahabat.
Dari sinilah ulama fikih menyimpulkan bahwa maksimal tujuh orang boleh berpatungan membeli satu ekor sapi atau unta untuk dikurbankan.
Ibnu Qudamah, salah satu ulama besar dalam mazhab Hanbali, menegaskan hal ini dalam kitab Al-Mughni. Ia menyebutkan bahwa kebolehan ini juga dipegang oleh mayoritas ahli ilmu.
Patungan kurban menjadi opsi ideal bagi mereka yang ingin menjalankan ibadah tetapi tidak sanggup secara finansial untuk membeli hewan sendiri.
Namun, ada batasan yang harus diperhatikan. Pertama, jumlah peserta tidak boleh lebih dari tujuh orang. Kedua, setiap peserta harus memiliki niat berkurban, bukan sekadar membeli daging.
Ketiga, hewan yang dikurbankan harus memenuhi syarat, seperti cukup umur dan tidak cacat. Dan tentu saja, penyembelihan hanya sah dilakukan pada hari-hari kurban, yakni 10 hingga 13 Dzulhijjah.
Pertanyaan lain yang sering muncul di tengah masyarakat adalah soal penggunaan daging kurban untuk hajatan. Misalnya, apakah boleh daging kurban dijadikan hidangan dalam acara pernikahan atau syukuran?
Imam Ibnu Hajar dalam salah satu penjelasannya menyampaikan bahwa daging kurban seharusnya dibagikan dalam keadaan mentah, bukan sudah dimasak.
Baik daging itu dikirim ke rumah orang miskin maupun diundang makan bersama, jika dagingnya sudah dimasak, maka tujuannya bergeser dari kurban ke walimah.
Padahal, inti dari kurban adalah menyedekahkan daging secara langsung kepada fakir miskin dalam wujud mentah agar mereka bisa mengolahnya sendiri.
Ini berarti, jika daging kurban digunakan untuk memasak makanan pesta dan dibagikan dalam bentuk hidangan jadi, maka esensi ibadah kurban tidak tercapai sepenuhnya.
Ada risiko ibadah tersebut tidak sah atau tidak sempurna menurut pandangan sebagian ulama. Namun, sebagian ulama seperti dalam mazhab Maliki, memberi sedikit kelonggaran.
Al-Kharsyi dalam Syarh Mukhtashar Khalil menyebut bahwa kurban tetap dianggap sah jika dagingnya dijadikan hidangan dalam acara pernikahan, asalkan sebagian dari daging tersebut tetap dibagikan mentah kepada fakir miskin.
Jadi, tidak seluruhnya dikonsumsi dalam acara pribadi. Dengan kata lain, Anda boleh saja menyisihkan sebagian kecil daging kurban untuk dimasak dan dihidangkan dalam acara keluarga atau syukuran.
Tapi pastikan bahwa sebagian besar daging dibagikan dalam kondisi mentah kepada yang membutuhkan, sesuai tujuan utama dari ibadah kurban.
Dari berbagai pendapat ulama, jalan tengah yang bisa Anda ambil adalah tetap membagikan daging kurban secara mentah kepada fakir miskin sebagai bentuk sedekah utama.
Jika ingin mengolah sebagian daging untuk acara syukuran, pastikan tidak melanggar prinsip dasar dari kurban. Lebih utama jika acara walimah atau hajatan dilakukan terpisah dari kurban.
Artinya, Anda bisa menyelenggarakan acara makan-makan dengan daging biasa, bukan dari daging kurban. Ini untuk menjaga kemurnian ibadah dan menghindari kerancuan hukum.
Perlu juga diketahui bahwa daging kurban wajib dibagikan kepada golongan tertentu seperti fakir, miskin, dan orang-orang yang membutuhkan.
Tidak semua daging boleh dikonsumsi oleh pihak yang berkurban, apalagi jika kurban tersebut bersifat nadzar, di mana seluruh daging harus disedekahkan.
Penutup
Patungan kurban adalah solusi bijak untuk Anda yang ingin tetap menjalankan ibadah di tengah keterbatasan ekonomi.
Namun, patuhi batasan jumlah peserta dan niat yang benar agar kurban Anda sah.
Sementara itu, penggunaan daging kurban untuk acara hajatan sebaiknya dilakukan dengan sangat hati-hati.
Pastikan sebagian besar daging tetap dibagikan kepada yang berhak, dan tidak seluruhnya dikonsumsi dalam bentuk hidangan pesta.
Dengan memahami aturan ini, Anda bisa beribadah dengan tenang sekaligus menjaga hak-hak kaum dhuafa yang menjadi tujuan utama dari penyembelihan kurban.***