Cerita pilu itu terjadi ratusan tahun lalu. Tepatnya pada 21 sampai 23 Februari 1861, daerah Kota Banyumas tenggelam oleh banjir dahsyat setinggi 3,5 meter. Merasakan atau hanya mengkhayalkan banjir setinggi 1 meter saja sudah tak keruan, apalagi banjir setinggi 3,5 meter.
Kota Banyumas adalah daerah yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Banyumas. Daerah yang memang tak jauh dari mengalirnya Sungai Serayu. Saat musibah itu, air Sungai Serayu meluap, menenggelamkan banyak tempat.
Salah satunya Rumah Residen. Inilah tempat yang jadi penanda bahwa ketinggian air mencapai 3,5 meter. Warga menyelamatkan diri ke Pendapa Sipanji (yang berada di Kecamatan Banyumas). Selain itu, ada juga warga yang mengungsi di Masjid Nur Sulaiman. Dua tempat yang berdekatan itu memang tak tenggelam karena letaknya yang tinggi. Ada yang menyebut musibah ini terjadi empat hari. Ada yang menyebut musibah ini terjadi dua hari satu malam.
Itulah sepotong kisah banjir di Banyumas. Lalu, bagaimana cerita banjir Banyumas hasil tulisan orang bernama William Barrington d’Almeida? William adalah orang Eropa. Satu dokumen tahun 1871 menjelaskan William Barrington d’Almeida masuk dalam sensus di Inggris.
William lahir pada 1841. Lalu pada 1862 dia melakukan perjalanan ke Jawa. Dari perjalanan itulah muncul buku berjudul, “Life in Java: With Sketches of the Javanese”. Buku itu diterbitkan tahun 1864. Nah, di buku itu dia menceritakan salah satu perjalanannya di Banyumas.
Dia bercerita bertemu dengan Bupati Banyumas kala itu, Radhen Adipatti Jakra Negara. Saat pertemuan itu, William mendapatkan cerita dari sang bupati. Sang Bupati bercerita bahwa Banyumas (dalam hal ini Kota Banyumas alias Kecamatan Banyumas saat ini) belum lama mengalami musibah banjir.
Banjir itu terjadi karena luapan Sungai Serayu. Kala itu penduduk sangat kaget, sebab air meluap dan terus meninggi. Banjir itu menerjang banyak tempat. Warga panik karena air meninggi dengan cepat. Warga pun berenang mencari rumah paling tinggi, mencari pepohonan tinggi, dan menunggu ada bantuan dari mereka yang membawa perahu. Akibat banjir dahsyat itu, 300 nyawa melayang.
Lalu bagaimana dengan Pak Bupati yang bisa aman? Dari cerita itu dijelaskan bahwa bupati, keluarga, dan orang-orang Eropa menyelamatkan diri di lantai atas rumah bupati. Mereka digambarkan tergesa-gesa menaiki tangga ketika air menerjang hebat. Selama menyelamatkan diri di lantai atas, mereka makan dari makanan yang bisa dibawa ketika tergesa menyelamatkan diri.
Setelah banjir mereda, bekas duka masih sangat terlihat. Bangunan roboh, pohon bertumbangan karena terjangan air. Area lapangan yang berumput hijau berubah menjadi rumput berwarna kuning pucat, sepucat musibah itu terjadi.
Begitulah cerita banjir Banyumas yang ada di buku orang Inggris. Williams hanya menceritakan sekilas. Sebab, dalam bukunya dia menulis rute perjalanan dan beberapa hal tentang tempat yang dia kunjungi. Dia mengunjungi banyak tempat, jadi tak hanya mengunjungi Banyumas.
Kembali ke banjir Banyumas di tahun 1861. Kala itu, banjir tak hanya terjadi di Banyumas saja. Kala itu banjir juga terjadi di beberapa tempat di Jawa. Sehingga, memang musibah yang besar. Di masa banjir besar Banyumas itu, ada istilah bethik mangan manggar. Artinya ada ikan yang bisa memakan bunga kelapa karena pohon kelapa tenggelam oleh banjir.
Referensi:
William Barrington d’Almeida, (1864), Life in Java: With Sketches of the Javanese
Adrisijanti Romli, Inajati, dkk (1998) Laporan Purna Pugar Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas.
Atik Budiarti (2020), Manajemen Pelayanan Publik Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
Diska Meizi Arinda, Ufi Saraswati, Abdul Muntholib (2017) Krisis Ekonomi di Banyumas 1930-1935 Sampai Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Banyumas ke Purwokerto Tahun 1937
Purnawan Basundoro (2000). Transportasi dan Eksploitasi Ekonomi di Karesidenan Banyumas tahun 1830-1940