SERAYUNEWS-Angin malam dengan mudah menyelinap masuk tanpa permisi. Dinding yang terbuat dari papan bekas dan anyaman bambu rapuh tak sanggup lagi menahannya. Di sudut Desa Bangsa, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas sebuah bangunan berdiri dengan sisa-sisa harga dirinya, nyaris tak lagi layak disebut rumah.
Lantainya adalah tanah yang dingin dan lembap, sementara atap seng yang berlubang pasrah menjadi pintu bagi setiap tetes air hujan. Dari sudut dapur, tak ada aroma masakan yang mengepul, hanya tercium bau kayu bakar basah yang tak kunjung menyala.
Di dalam keheningan dan kerapuhan itulah, sepasang kakak-beradik lansia, Ngadiyem dan Tukimin, merajut sisa hari mereka. Tujuh tahun telah berlalu sejak gubug ini menjadi satu-satunya tempat mereka berteduh.
Kini, tubuh Tukimin yang renta telah menyerah pada sakit. Ia hanya bisa berbaring pasrah di atas dipan sederhana, menatap langit-langit yang berlubang. Di sisinya, Ngadiyem, dengan punggung yang kian membungkuk oleh usia, mencoba merawat apa pun yang tersisa.
Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dan berdiri di atas tanah yang bukan milik mereka, keduanya seakan terperangkap dalam penjara kemiskinan.
Namun, beberapa jarak dari sunyinya gubuk itu, sebuah ironi yang memekakkan telinga tengah menjadi perbincangan hangat. Angka-angka fantastis berseliweran: tunjangan perumahan untuk Ketua DPRD Banyumas sebesar Rp42,6 juta, untuk wakil ketua Rp34,6 juta, dan untuk setiap anggota dewan Rp23,6 juta.
Setiap bulan. Angka-angka yang kontrasnya begitu tajam dengan kondisi gubuk Ngadiyem, yang bahkan tak bisa dinilai dengan rupiah.
Kisah pilu ini akhirnya menembus dinding kebisuan berkat Teguh Sutino, seorang warga setempat. Pada Rabu (1/10/2025) siang, hatinya tergerak untuk mengabadikan potret gubug itu dan membagikannya ke sebuah grup whatsapp. Sebuah pesan singkat menyertai foto tersebut, menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar.
“Di gubuk ini ada dua orang penghuni. Tanpa pekerjaan karena mereka orang berkebutuhan khusus. Seolah tidak ada yang peduli, bertahun-tahun tidak ada perubahan,” tulis Teguh.
Pesannya bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah ketukan di pintu nurani publik dan pemerintah. Ia berharap sorot lampu akhirnya menunjuk ke sudut gelap di desanya. Menurutnya, Ngadiyem dan Tukimin bukanlah satu-satunya. Di desa tetangga, Kaliwedi, seorang lansia lain juga berjuang sendirian di rumah yang tak layak huni.
Paradoks ini ditangkap dengan tajam oleh Bangkit Ari Sasongko, seorang aktivis dari Forum Banyumas Bersuara. Baginya, kondisi Ngadiyem dan Tukimin adalah sebuah tamparan keras bagi rasa keadilan.
“Yang justru perlu mendapatkan ‘tunjangan perumahan’ adalah mereka yang tinggal di RTLH seperti Bu Ngadiyem,” ujarnya.
Fakta ini, lanjutnya, seharusnya menjadi kritik sosial yang menusuk bagi para wakil rakyat yang menikmati kemewahan tunjangan puluhan juta setiap bulannya.
Di tengah riuh kritik, Pemerintah Kabupaten Banyumas memang tengah mengevaluasi besaran tunjangan tersebut. Namun, proses birokrasi itu terasa begitu jauh dan abstrak bagi Ngadiyem dan Tukimin. Yang mereka butuhkan bukanlah rapat evaluasi atau diskursus kebijakan.
Kebutuhan mereka jauh lebih mendasar: atap yang tak lagi bocor saat hujan, lantai yang aman untuk dipijak, dan sebuah dapur yang bisa kembali mengepulkan asap hangat, pertanda masih ada kehidupan.
Kini, gubuk reyot di Desa Bangsa itu berdiri sebagai monumen bisu. Sebuah simbol betapa lebarnya jurang antara kesejahteraan rakyat dan para wakilnya. Di satu sisi, angka-angka tunjangan mengalir deras setiap bulan. Di sisi lain, sepasang lansia terus bertarung melawan hari di dalam rumah yang hampir roboh.