SERAYUNEWS— Sejak 1960, setiap tanggal 6 April masyarakat Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional. Momen ini merupakan bentuk apresiasi kepada nelayan. Secercah harapan muncul setelah Pemerintah menetapkan kebijakan ekonomi biru.
Merujuk Bank Dunia, ekonomi biru adalah ekonomi laut berkelanjutan. Indonesia menuangkan kebijakan Ekonomi Biru dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Salah satu programnya adalah penangkapan ikan terukur (PIT) yang tengah pemerintah kebut.
Peraturan Pemerintah (PP) pun sudah keluar, PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur pada 6 Maret 2023 lalu. Rencananya, itu baru akan diimplementasikan pada 2024.
Anehnya PP tersebut justru memarjinalkan nelayan lokal dan memberi karpet merah industri besar. Kuota nelayan lokal hanya sampai dengan 12 mil zona penangkapan terukur, sedangkan bagi industri di atas 12 mil.
Selain itu, kuota penangkapan nelayan tradisional yang tergabung dalam koperasi hanya mendapat porsi 35 persen. Selanjutnya, nelayan industri memperoleh jatah 64,90 persen.
Sangat jelas kebijakan ekonomi biru bukan milik nelayan lokal, tetapi memperkaya industri besar.
Kemiskinan ekstrem nasional terkonsentrasi 69,3 persen di wilayah pesisir. Kemiskinan di wilayah pesisir itu tidak lepas dari pola pekerjaan masyarakat pantai yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan tangkap.
Wilayah pesisir yang secara geografis berada di dekat laut justru sebagian besar berada dalam kubangan kemiskinan. Padahal, kawasan pesisir ini sangat dekat dengan berbagai sumber daya laut bernilai ekonomi tinggi.
Dari 12.510 desa yang berada tepi laut, sekitar 90 persennya memanfaatkan laut sebagai manfaat ekonomi.
Mereka memiliki akses yang terbatas terhadap modal dan mendapat dengan tekanan dari pemilik modal dengan sistem bagi hasil perikanan yang tidak adil.
Selain itu, sistem perdagangan atau pelelangan ikan yang tidak transparan, budaya kerja yang masih tradisional karena keterbatasan skill semakin mempersulit mereka keluar dari pusaran kemiskinan.
Kebijakan ekonomi biru harusnya berpihak pada nelayan, sehingga bisa lepas dari jerat kemiskinan, sesuai dengan konsep awalnya. Ekonom Gunter Pauli memperkenalkan kebijakan itu dalam rangka mempersiapkan Confrence of The Parties (COP) 3 di Jepang pada tahun 1997.
Produk akhir dari pemikiran Pauli tertuang dalam buku yang berjudul “Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs” (2015).
Menurut Pauli, ekonomi biru adalah ekonomi berkelanjutan dengan mengutamakan aspek lokal dan keberlangsungan alam, bertujuan mengembangkan ekonomi lokal serta memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat sekitar.
Kenyataan di Indonesia, konsep ekonomi biru ini seolah terpaku pada agenda maksimalisasi potensi laut yang ditandai dominasi kepentingan korporasi untuk melakukan eksploitasi seluas-luasnya (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2022).
Jika kebijakan PP Nomor 11 Tahun 2023 tidak mengalami perubahan, nelayan tradisional tak dapat apa-apa dan pelestarian lingkungan pun jadi omong kosong belaka.*** (O Gozali)