SERAYUNEWS– Nama rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran tengah menjadi buah bibir publik. Hal itu terjadi usai terkuaknya penggunaan bahan non-halal dalam salah satu menunya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof. KH. Asrorun Ni’am Sholeh pun angkat bicara. Dia memperingatkan dampak serius yang bisa merusak reputasi Kota Solo sebagai kota religius dan kuliner yang ramah wisatawan Muslim.
“Kalau tidak ada langkah cepat, bisa merusak Kota Solo yang religius dan inklusif. Kasus Widuran ini contoh pelaku usaha yang culas dan tidak jujur. Ini bisa merusak reputasi Kota Solo,” kata Prof Ni’am dikutip dari laman MUI, Senin (26/5/2025).
Kontroversi mencuat ketika diketahui bahwa kremesan ayam goreng di Ayam Goreng Widuran menggorengnya menggunakan minyak babi (lard).
Meskipun daging ayamnya adalah ayam kampung dan halal, namun penggunaan minyak babi menjadikan seluruh menu tersebut tidak halal secara syariat Islam.
Banyak pelanggan Muslim merasa kecewa karena tidak pernah ada pemberitahuan secara terbuka mengenai penggunaan bahan non-halal tersebut.
Beberapa bahkan mengaku telah menjadi pelanggan setia selama bertahun-tahun tanpa menyadari fakta ini.
Merespons kegaduhan yang terjadi, manajemen rumah makan akhirnya menyampaikan permohonan maaf melalui akun Instagram resmi mereka, @ayamgorengwiduransolo.
Mereka mengklaim telah memasang label “NON-HALAL” secara jelas di seluruh outlet dan akun media sosial mereka sebagai bentuk transparansi kepada konsumen.
Ayam Goreng Widuran bukanlah pendatang baru dalam dunia kuliner. Restoran ini telah berdiri sejak tahun 1973 dan terkenal karena kelezatannya.
Pengelola restoran bernama Indra, telah mewarisi dan mengembangkan usaha keluarganya tersebut selama puluhan tahun. Di bawah kepemimpinannya, Ayam Goreng Widuran bahkan telah membuka cabang di Bali, tepatnya di Jalan Imam Bonjol No. 371, Denpasar.
Menu andalan mereka terdiri dari ayam goreng kampung tanpa bahan pengawet, dengan kremesan renyah. Selain itu juga ada aneka pilihan sambal seperti sambal bawang, sambal matah, dan sambal original.
Prof. Ni’am menegaskan bahwa pelaku usaha kuliner wajib mematuhi peraturan yang berlaku, terutama terkait sertifikasi halal.
“Sudah ada undang-undangnya, kalau ada yang langgar tentu ada sanksi. Pemerintah harus segera bertindak,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa proses pengolahan makanan menjadi bagian penting dalam memastikan kehalalan, bukan hanya bahan dasarnya saja.
“Ayam yang halal sekalipun bisa menjadi haram jika digoreng dengan minyak babi. Ini bukan hal sepele,” paparnya.
Sementara itu, Dinas Perdagangan Kota Solo merespons cepat dengan merencanakan inspeksi ke lokasi usaha. Mereka akan memastikan kepatuhan terhadap regulasi perlindungan konsumen.
Langkah ini agar masyarakat memperoleh informasi yang akurat dan dapat membuat pilihan yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Kasus Ayam Goreng Widuran menjadi tamparan keras bagi pelaku usaha kuliner di seluruh Indonesia.
Transparansi terhadap bahan dan proses produksi, terutama yang menyangkut aspek kehalalan, menjadi sangat penting di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia.
“Jangan hanya percaya pada tampilan menu. Umat Muslim wajib mengecek label halal, bertanya kepada pemilik, dan memperhatikan indikasi yang ada. Ini bentuk kehati-hatian yang sesuai dengan syariat,” imbau Prof. Ni’am.
Dalam industri kuliner, kepercayaan adalah modal utama. Sekali reputasi tercoreng, dampaknya bisa meluas mulai dari kehilangan pelanggan, penurunan jumlah wisatawan, hingga rusaknya citra kota.
Pemerintah daerah, MUI, dan pelaku usaha kuliner harus bersinergi menjaga kualitas dan kejujuran demi keberlangsungan industri makanan yang aman, sehat, dan sesuai syariat.