SERAYUNEWS- Dunia kuliner Indonesia kembali diguncang kabar yang mengundang keprihatinan mendalam. Rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo mengakui bahwa salah satu produknya tidak halal.
Padahal rumah makan ini bukanlah rumah makan baru kemarin, akan tetapi sudah berdiri sejak tahun 1973. Pastinya sudah banyak pelanggan yang menikmati produk yang mereka perjaul belikan.
Fakta mengenai penggunaan bahan non halal ini, belakangan mengejutkan publik, terutama umat Muslim yang selama puluhan tahun menjadi pelanggan setia.
Pengakuan ini setelah lebih dari lima dekade beroperasi tanpa kejelasan status kehalalan. Banyak konsumen merasa terkhianati karena selama ini mengira makanan tersebut halal. Terlebih restoran ini sempat memajang spanduk bertuliskan “halal” di depan gerainya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, menilai persoalan ini tidak bisa menganggapnya sepele.
Ia menjelaskan bahwa dalam Islam, kehalalan bukan sekadar sertifikasi, melainkan bagian dari maqashid al-syariah, yaitu prinsip-prinsip syariat Islam yang bertujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
“Makanan yang dikonsumsi bukan hanya berdampak pada tubuh, tetapi juga pada spiritualitas dan kejiwaan seseorang. Halal itu bukan soal tren, tapi bentuk tanggung jawab dan transparansi moral,” kata Dr. Ash-Shiddiqy.
Lebih dari soal non-halal, publik kecewa karena tidak ada keterbukaan sejak awal. Dr. Ash-Shiddiqy menekankan pentingnya etika informasi dalam bisnis makanan, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 168, yang memerintahkan umat Islam hanya mengonsumsi makanan halal dan baik.
Dalam konteks ini, ketertutupan informasi oleh pengelola Ayam Goreng Widuran dianggap sebagai bentuk kelalaian terhadap prinsip al-bayan kejelasan dan keterbukaan informasi dalam Islam.
Setelah kabar ini mencuat, media sosial dipenuhi reaksi dari masyarakat. Sebagian mengungkapkan kekecewaan dan rasa bersalah, sementara lainnya memilih memaklumi karena sudah telanjur menjadi penggemar setia.
“Kalau sudah 50 tahun makan dan baru tahu sekarang, terus kita harus bagaimana?” keluh seorang pelanggan.
Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh rasa dalam membentuk kebiasaan, bahkan bisa mengaburkan pertimbangan agama jika tidak disertai informasi yang jujur.
Dalam perspektif ekonomi, halal kini berkembang menjadi industri global bernilai miliaran dolar. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar tengah mengarusutamakan sertifikasi halal, termasuk untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, kasus Widuran menunjukkan masih adanya celah besar dalam sistem pengawasan dan kesadaran pelaku usaha.
“Halal bukan hanya soal label di dinding, tapi soal integritas. Jika produsen menyembunyikan informasi penting, mereka merusak kepercayaan konsumen, dan itu jauh lebih berbahaya dari sekadar kandungan minyak babi,” tegas Dr. Ash-Shiddiqy.
Pihak Ayam Goreng Widuran akhirnya mencantumkan informasi non-halal di bio Instagram dan ulasan Google, tetapi hal ini dinilai terlalu lambat. Publik mempertanyakan mengapa kejujuran ini baru muncul setelah puluhan tahun, saat ribuan umat sudah mengonsumsinya tanpa mengetahui fakta sebenarnya.
Dalam dunia usaha yang menyangkut nilai keagamaan, keterlambatan semacam ini bukan sekadar kelalaian, melainkan potensi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Kasus ini memberi pelajaran penting bagi semua elemen masyarakat:
1. Konsumen Muslim: Wajib menanyakan status halal sebelum mengonsumsi produk, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap diri dan keluarga.
2. Pelaku Usaha: Transparansi adalah syarat mutlak dalam bisnis makanan, terutama yang menyasar pasar Muslim.
3. Pemerintah dan Regulator: Perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan aturan terkait produk halal agar tidak ada lagi pelaku usaha yang beroperasi dalam “wilayah abu-abu”.
Skandal ini menjadi pengingat bahwa kenikmatan lidah tak bisa menjadi alasan untuk menunda kejujuran. Dalam Islam, makanan adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar konsumsi. Maka kehalalan adalah hak publik dan kewajiban moral pelaku usaha.
Kini, umat tak hanya mempertanyakan status produk yang mereka konsumsi, tetapi juga makna kepercayaan dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Sudah waktunya umat lebih kritis, dan pelaku usaha lebih jujur sebelum semua rasa kehilangan makna.