SERAYUNEWS- Kasus viral yang menyeret warung Ayam Goreng Widuran di Kota Solo, menyita perhatian publik.
Tempat makan legendaris yang telah berjualan selama 52 tahun itu diduga menggunakan kremesan mengandung babi dalam olahannya.
Ironisnya, di spanduk depan warung tertulis jelas klaim “halal”. Sementara pengakuan dari pelanggan menyebut, pemilik warung juga meyakinkan bahwa ayam mereka halal.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, merespons keras kasus ini.
Ia menegaskan bahwa pelaku usaha wajib mematuhi Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Produk pangan wajib bersertifikat halal sebelum diperjualbelikan di Indonesia.
“Pelaku usaha harus patuh pada undang-Undang yang mewajibkan sertifikat halal bagi produk pangan di Indonesia. Kalau tidak, ada sanksinya. Aparat pemerintah harus melakukan langkah tegas, tidak boleh abai,” ujar Prof. Ni’am di laman MUI, Senin (26/5/2025).
Prof. Ni’am mendesak pemerintah daerah untuk segera melakukan langkah-langkah konkret, baik secara administratif maupun hukum.
Ia mengingatkan bahwa jika ada pembiaran, kasus ini dapat mencoreng citra Kota Solo yang selama ini terkenal sebagai kota religius dan inklusif.
Menurutnya, jika tidak ada langkah cepat, ini bisa merusak reputasi Kota Solo secara keseluruhan. Kepercayaan publik akan menurun, pelaku usaha kuliner bisa kena imbas, bahkan pariwisata pun bisa terdampak.
“Merugikan pelaku usaha kota Solo, bisa merusak kepercayaan publik kepada seluruh kota Solo. Ini berdampak menurunkan jumlah wisatawan karena rasa tidak aman terhadap menu makanan di Solo,” tegasnya.
Guru Besar Ilmu Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, bahwa ayam memang termasuk hewan yang halal untuk konsumsi. Tetapi kehalalan tersebut bisa batal, jika prosesnya tidak sesuai syariat Islam.
“Kalau menyebelih ayamnya sesuai syariat, tapi menggorengnya dengan minyak babi, maka haram. Seperti bangkai hukumnya,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah, Depok, ini.
Prof. Ni’am menambahkan, kehalalan makanan tidak cukup hanya dari bahan utama dan tampilannya. Proses pengolahan, alat, dan lingkungan pengolahan juga harus bebas dari najis dan unsur haram.
“Menu ayam tidak serta-merta pasti halal. Proses pengolahannya juga harus sesuai syariat,” imbuhnya.
Kasus Ayam Goreng Widuran ini, lanjut Prof. Ni’am, menjadi pelajaran penting bagi umat Muslim untuk lebih selektif dalam memilih tempat makan.
Ia mengimbau masyarakat agar tidak segan menanyakan sertifikat halal, serta mengecek keabsahan klaim kehalalan dari pelaku usaha.
“Setiap Muslim harus hati-hati. Pastikan kehalalannya, tanya pemilik, cek sertifikat, dan perhatikan indikasi-indikasinya,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa label halal, tak bisa hanya dari klaim sepihak. Kehalalan sebuah makanan harus terbukti secara resmi melalui sertifikasi.
Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu menjaga marwah kuliner halal, demi kepercayaan dan kenyamanan konsumen. Khususnya di kota dengan identitas kuat seperti Solo.