SERAYUNEWS— Harga beras melambung tinggi. Ada yang menyalahkan beras habis karena bansos. Ada juga yang menyalahkan alam (el-nino). Pemerintah hanya bisa menenangkan rakyat kalau harga beras naik tidak hanya di Indonesia.
Bagi rakyat yang jelas ini namanya paceklik. Pemerintah tak siap dengan lumbung pangannya. Sementara itu, ada Komunitas Adat Kejawen Bonokeling di Desa Pekuncen, Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, memiliki lumbung pangan atau lumbung paceklik yang mereka kelola ratusan tahun lamanya.
Komunitas Bonokeling yang sering orang sebut Islam Kejawen atau Islam Blangkon atau yang lebih umum orang kenal dengan Islam Alif Rebo Wage (Aboge) selalu mengajarkan pada keturunannya (anak Putu Bonokeling) untuk selalu menjaga ketahanan pangan.
Bagi warga yang punya sawah, setiap panen wajib menyisihkan padi ditaruh di lumbung. Bagi warga yang tidak punya sawah, mereka dapat mbawon dengan upah gabah. Oleh karena itu, mereka dapat menyimpan gabah di rumah.
Tak hanya lumbung, mereka juga sudah menjalankan tradisi bank gabah. Pada saat panen, warga Bonokeling akan mengembalikan pinjaman gabah yang mereka ambil pada saat paceklik. Lumbung ada di setiap RT (Rukun Tetangga) berupa bangunan dari tembok, terdapat 23 lumbung yang bangunannya berdekatan dengan Balai RT. Setiap lumbung ada pengurusnya yang lepas dari struktur RT.
Tak hanya padi atau gabah, mereka juga menyimpan oyek. Makanan yang terbuat dari bahan baku singkong.
Sejak zaman dulu, singkong telah menjadi makanan pokok selain beras. Kini, beras memang menjadi yang utama. Akan tetapi, oyek masih tetap punya. Bahan makanan lain yang dari singkong adalah gesret atau singkong yang diiris tipis-tipis, kemudian dikukus. Cuma kalau gesret tidak tahan lama, tidak dapat disimpan.
Kesadaran menjaga lumbung bertambah meningkat, saat warga pernah mengalami krisis pangan di tahun 1950-an. Waktu itu, terjadi kekeringan dan warga hanya dapat makan dedaunan. Salah satu penyelamatnya adalah daun kelor yang mereka buat sebagai sayur. Atas pengalaman itulah, sekarang warga semakin aktif menyimpan hasil panenan sendiri dan mengurus lumbung.
Blangkon menjadi ciri khas laki-laki yang mereka pergunakan sehari-hari. Itulah mengapa mereka orang sebut Islam Blangkon.
Warga berkeyakinan menjaga lumbung berarti menjaga tradisi. Terlebih, sebagian besar warga bekerja sebagai petani dan buruh harian lepas. Mereka hidup dengan mengandalkan hasil bumi atau sumber daya alam yang ada di lingkungan alam sekitar. Lumbung adalah nyawa bagi hidup dan kehidupan.*** (O Gozali)