SERAYUNEWS- Sebanyak 54 mahasiswa Program Studi Ilmu Lingkungan UIN Saizu Purwokerto menjelajahi Kawasan Perbukitan Karst Gombong–Karangbolong yang masuk dalam jaringan UNESCO Global Geopark (UGGp).
Mereka mengikuti praktik mata kuliah Geomorfologi Lingkungan dan Pemetaan Dasar di Kawasan Perbukitan Karst Gombong tepatnya pada 14–15 Juni 2025.
Melalui kegiatan ini, para mahasiswa menggali langsung pengetahuan tentang bentuklahan karst, sistem hidrologi bawah tanah, dan teknik pemetaan spasial.
Dosen pendamping sekaligus Peneliti Kawasan Karst Gombong, Gangsar Edi Laksono menyebutkan, kawasan karst tersebut dikenal sebagai warisan geologi penting yang menyimpan potensi besar terhadap sumber daya air dan keanekaragaman hayati.
Pada hari pertama, para mahasiswa mengawali kegiatan di Embung Tugu, Desa Tugu, yang berada di ketinggian 157 meter di atas permukaan laut.
Mereka mengamati langsung bukit kapur, dolina, dan mataair, serta mencatat karakteristik geomorfologi di lokasi tersebut.
Setelah itu, mereka mengunjungi Mataair Kalisirah di Desa Sikayu, Kecamatan Buayan.
Gangsar menjelaskan bahwa mataair ini berasal dari sistem sungai bawah tanah yang terbentuk akibat pelarutan batuan gamping.
“Daerah imbuhan mataair ini mencapai 189 hektar dan terhubung langsung dengan Goa Jeblosan,” jelas Gangsar dalam keterangan Jumat (20/6/2025).
Mahasiswa mencatat bahwa kedua sumber air tersebut menjadi penopang kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Para mahasiswa lalu melanjutkan observasi ke Mataair Langenujung. Di sana, mereka melakukan berbagai pengujian ilmiah, seperti:
1. Mengukur alkalinitas dengan titration kit,
2. Menghitung serapan karbon menggunakan CO₂ meter dari air dan tanah,
3. Menguji kualitas air berdasarkan pH, suhu, DO, TDS, dan EC.
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Romza Fauzan Agni, turut membimbing mereka di lokasi tersebut. Ia memberi wawasan tentang pentingnya studi kimia air untuk memahami dinamika lingkungan karst.
Pada hari kedua, mahasiswa menelusuri Goa Barat, sungai bawah tanah terpanjang di Karst Gombong yang membentang hingga 9,8 kilometer. Mereka menyusuri lorong goa sejauh 2,1 kilometer selama sekitar 6–7 jam.
Sepanjang penelusuran, mahasiswa menyaksikan langsung proses pelarutan batu kapur yang membentuk lorong goa, stalaktit, stalagmit, dan kolom batu alam.
Mereka juga mengamati ekosistem kelelawar yang menjadi bagian penting dari rantai makanan gua.
“Goa Barat ini menjadi sumber air, objek wisata minat khusus, dan sekaligus laboratorium alam yang sangat bermanfaat bagi kegiatan pembelajaran,” ujar Gangsar.
Selama kegiatan, dosen juga membekali mahasiswa dengan peta geologi, lembar kuesioner, dan aplikasi GPS berbasis Android.
Mahasiswa mempraktikkan cara menentukan titik koordinat, membaca peta topografi, serta mencatat data lapangan secara sistematis.
Surya Waradi Muwahid, dosen pengampu mata kuliah Pemetaan Dasar, menyatakan bahwa keterampilan ini sangat penting bagi calon ilmuwan lingkungan.
“Kami ingin mahasiswa mampu merancang survei lapangan berbasis spasial secara tepat dan akurat,” katanya.
Selain menambah wawasan ilmiah, kegiatan ini juga menumbuhkan kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya konservasi kawasan karst.
Mereka menyaksikan secara langsung bagaimana karst berperan penting dalam penyediaan air bersih, penyangga ekosistem lokal, hingga habitat flora-fauna unik.
Meskipun menghadapi medan sulit dan kondisi goa yang menantang, mahasiswa tetap menunjukkan semangat tinggi dan antusiasme dalam menjalankan setiap rangkaian kegiatan.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya memahami teori secara konseptual, tetapi juga menguatkan keterampilan praktis yang akan mereka butuhkan di dunia kerja.
Mereka belajar langsung di laboratorium alam yang sesungguhnya tempat di mana sains, konservasi, dan masyarakat bertemu.
Dengan pengalaman ini, mahasiswa Ilmu Lingkungan siap menjadi generasi yang tak hanya paham teori, tetapi juga peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan kelestarian bumi.