SERAYUNEWS—- Sejumlah daerah di pesisir pantai rutin menggelar tradisi sedekah laut antara lain, Cilacap, Gunungkidul, Semarang, Demak, Jepara, Pemalang, Brebes, Kebumen, Tuban, Trenggalek, Blitar, Banyuwangi, dan sebagainya.
Umumnya, masyarakat menggelar tradisi sedekah laut setahun sekali, yakni pada tahun baru Islam yang bertepatan dengan tahun baru Jawa.
Namun, beberapa daerah melaksanakan sedekah laut pada bulan Syawwal dalam kalender Hijriah, setelah hari raya Idulfitri.
Antropolog Peter Berger dalam karya yang masyhur, The Social Reality of Religion (1969) menulis, pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius.
Jadi, tak aneh jika laut atau sungai orang maknai sebagai pertautan antara alam yang suci dengan kehidupan yang tak selalu suci dan bersambung seperti gelombang air.
Berger mengatakan manusia tak bisa menghindar dari alam dan kekuatan adikodrati yang tak terbatas, serta dari sanalah terciptalah dunia simbol.
Menurutnya, manusia tiap zaman selalu terdorong untuk meciptakan makna dari simbol-simbol yang suci (the sacred canopy).
Pengelana Yunani zaman purba, Herodotus (484-425 SM) ketika pertama kali mengunjungi Mesir, Babilonia, Palestina dan Syiria menceritakan pengalamannya.
Betapa orang Mesir amat mecintai sungai Nil dan orang Babilonia selalu terkagum dengan ombak laut Macedonia.
Mereka berkumpul dan pawai untuk melarungkan sesajen ke sungai dan laut, serta memanjatkan doa dengan khusyuk untuk Litany (para Dewa).
Megasathtnes (302-288 SM) mendapat pengalaman yang sama saat mengunjungi jazirah Arab dan Antropolog Tacitus (55-117 SM) saat mengunjungi Asia Tengah.
Orang Nusantara, pada zaman pra-sejarah beragama Kapitayan, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan, mengadakan ritual Selametan atau Wilujengan.
Salah satunya, mereka menggunakan laut, juga memakai aneka benda dan makanan sebagai simbol penghayatan, rasa syukur dan pengharapannya kepada Tuhan.
Selain bahasa verbal berupa kalimat puja dan doa yang terkandung dalam prosesi Sedekah Laut, juga ada bahasa simbolik dari setiap benda dan prosesi ritual.
Pembakaran kemenyan misalnya, orang Islam Pesisir biasanya menyebutnya sebagai talining iman, urubing cahya kumara kukuse ngambah swarga, ingkang nambi dzat ingkang Maha Kuwaos.
(tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya petunjuk, asapnya diharapkan sebagai harum bau surga, mudah-mudahan dapat diterima oleh Dzat yang Maha Kuasa).
Sesajen yang masyarakat larung di laut misalnya, merupakan simbol manusia tidak pelit ke makhluk lain di laut.
Di Cirebon, ada seorang Habib yang alim dalam ilmu fikih dan ushul fikih bernama Syarif Utsman Yahya namanya atau biasa orang panggil Abah Ayip.
Suatu hari ada masyarakat yang datang dan bertanya soal sesajen yang orang larung di laut.
“Makanan yang dilarung bagaimana, Bah? Katanya mubazir dan Nabi tidak pernah melarung makanan ke laut,” tanya salah satu dari mereka.
“Lanjutkan. Niatkan sedekah kepada makhluk Allah yang ada di laut. Jangan pelit jadi orang. Ambil ikan tiap hari, sepanjang tahun, masa ndak kasih makan ikan-ikan sekali pun? Itu, kalau kurang, ambil ayam saya di belakang, dilarung bersama kepala kerbau kalian,” jawan Abah Ayip.
Jika mengetahui bahasa agama yang tersimpan dalam simbol prosesi sedekah laut yang begitu mulia seperti ini, masihkah ada yang menghakimi prosesi macam itu adalah anomali bagi sikap keberagamaan kita?***(O Gozali)