SERAYUNEWS – Pernikahan dalam adat Jawa bukan hanya sekadar penyatuan dua individu, tetapi juga melibatkan hubungan antara dua keluarga besar.
Karena dianggap sebagai peristiwa sakral yang penuh makna, adat Jawa memiliki sejumlah aturan, pantangan, dan larangan untuk menjaga keharmonisan dan keberkahan dalam kehidupan rumah tangga.
Berikut adalah beberapa pantangan dalam pernikahan menurut adat Jawa yang hingga kini masih dihormati oleh banyak masyarakat.
Dalam tradisi Jawa, weton atau kombinasi hari lahir dan pasaran dianggap memengaruhi kecocokan pasangan.
Beberapa pasangan dengan weton tertentu diyakini membawa ketidakberuntungan jika menikah, yang disebut pasangan cebolang atau pasangan papat-papan.
Misalnya, kombinasi weton yang menghasilkan neptu sama atau bertolak belakang seperti:
Meski demikian, solusi biasanya dapat ditemukan melalui doa atau ritual adat tertentu.
Bulan Suro (Muharram dalam kalender Hijriyah) dianggap sebagai bulan keramat oleh masyarakat Jawa.
Menikah pada bulan ini dianggap tidak membawa keberkahan, karena bulan Suro sering dikaitkan dengan perenungan spiritual dan pengendalian diri.
Dalam tradisi Jawa, bulan Suro lebih baik digunakan untuk ritual doa dan introspeksi, bukan untuk perayaan besar seperti pernikahan.
Selain bulan Suro, ada juga pantangan menikah pada hari-hari tertentu yang dianggap kurang baik.
Penentuan hari baik ini biasanya dilakukan dengan perhitungan kalender Jawa, seperti mencari hari yang tidak jatuh pada Pitungan Nem atau Pasaran Tabrakan. Hari-hari tersebut dianggap membawa sial atau rentan konflik bagi pasangan.
Dalam adat Jawa, menikahkan anak yang lebih muda sebelum kakaknya menikah disebut sebagai Langkahan dan dianggap melanggar adat.
Hal ini dipercaya dapat membawa nasib buruk bagi keluarga dan calon pasangan. Untuk menghindari dampak buruk ini, biasanya dilakukan ritual khusus yang disebut upacara langkahan.
Ritual ini bertujuan untuk memberikan izin secara simbolis dari kakak kepada adik agar pernikahan berjalan lancar.
Larangan menikah dengan saudara sepupu atau kerabat dekat masih dipegang teguh dalam adat Jawa.
Hal ini tidak hanya didasarkan pada aspek biologis, tetapi juga kepercayaan bahwa hubungan pernikahan dengan keluarga dekat dapat membawa konflik atau ketidakharmonisan dalam keluarga besar.
Dalam adat Jawa, jika keluarga besar baru saja mengalami kematian anggota keluarga, pernikahan harus ditunda hingga masa duka selesai.
Masa duka biasanya berlangsung selama 40 hari hingga 1 tahun, tergantung pada hubungan kerabat yang meninggal. Menikah di tengah suasana duka dianggap tidak menghormati arwah yang telah berpulang.
Menjelang hari pernikahan, calon pengantin dilarang memotong rambut atau kuku. Hal ini diyakini dapat menghilangkan aura positif atau keberuntungan yang menyertai calon mempelai.
Ritual seperti siraman biasanya dilakukan sebagai simbol penyucian diri, dan setelah itu calon pengantin harus menjaga tubuh mereka hingga pernikahan selesai.
Demikianlah 7 pantangan pernikahan dalam adat dan budaya Jawa. Tentunya, percaya atau tidak dikembalikan ke kepribadian masing-masing.
***