SERAYUNEWS– Indonesia sangat kaya dengan tradisi dan budaya yang sangat beragam. Seperti halnya saat terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, masyarakat di sejumlah daerah, ada yang melakukan tradisi atau ritual ‘memanggil’ hujan. Mereka tak ingin kondisi kekeringan terus berkepanjangan.
Selain berdampak terhadap kehidupan penduduk, kekeringan di musim kemarau juga berdampak terhadap menipisnya ketersediaan pasokan bahan pangan. Karena, biasanya masyarakat tidak dapat melakukan aktivitas menanam, karena minimnya pasokan air, atau bahkan tak mendapat suplay air karena kekeringan.
Sejak zaman dahulu, hampir semua kebudayaan di dunia memiliki ritual ‘memanggil’ hujan. Begitu juga dengan masyarakat di pelosok Tanah Air Indonesia. Melansir keterangan di laman kemenkopmk.go.id, berikut delapan ritual ‘memanggil’ hujan di beberapa daerah yang masih dilestarikan.
Tradisi memanggil hujan ini lumayan unik di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Para pelaku cowongan memaknai cowongan sebagai simbol permohonan dan bukti pengabdian mereka terhadap peninggalan budaya para leluhur. Mereka menjalani ritual cowongan dengan ikhlas, niat yang tulus dan tanpa paksaan karena cowongan merupakan hal yang keramat.
Cowongan memiliki arti blepotan pada wajah, dengan media boneka yang dirasuki bidadari yang dipercaya dapat memanggil hujan. Boneka cowongan hanya boleh dipegang oleh kaum lelaki. Cowongan hanya dilakukan pada musim kemarau yang sangat panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir massa kapat (hitungan dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September.
Ritual ini merupakan tradisi warisan Raja Kediri yang terus dilestarikan oleh warga Desa Trajak, Boyolali, Tulungagung, Jawa Timur, hingga saat ini. Ketika kemarau panjang melanda dan warga mulai kesulitan untuk mendapatkan air, maka tradisi cambuk badan tiban yang dilakukan oleh pria dewasa ini diselenggarakan.
Para pria dengan bertelanjang dada, satu lawan satu, saling cambuk tubuh mereka di tengah lapang. Makna di balik darah yang keluar akibat cambukan dipercaya bakal mendatangkan hujan. Selain di Tulungagung, tradisi yang sama juga bisa ditemui di Trenggalek yang dinamai Cambuk Badan Ojung.
Jika tradisi cambuk badan tiban di Tulungagung menggunakan ranting pohon aren, tradisi unjungan yang terdapat di Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menggunakan sebilah rotan. Ritual memanggil hujan ini dilakukan oleh para pria di tengah lapangan.
Meskipun demikian ritual memanggih hujan ini bisa dibilang cukup ekstrem. Pasalnya ritual unjungan dilakukan dengan hitungan ganjil. Artinya jika dalam tiga kali pukulan pada lawan hujan belum juga turun, maka akan dilanjutkan dengan tujuh kali pukulan dan seterusnya.
Tari Sintren atau Lais adalah tarian yang beraroma magis, bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Tarian ini hanya disajikan saat masyarakat mengalami kemarau panjang. Biasanya ritual tari sintren ini diadakan selama 40 malam berturut-turut. Namun doa dan harapan tetap dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa agar hujan cepat turun yang dilakukan oleh seorang pawang sintren.
Penari sintren adalah seorang perempuan yang harus benar-benar masih gadis suci (perawan). Sedangkan pemain lais yang perankan oleh pria, harus benar-benar bujang (masih perjaka). Tarian ini dilakukan oleh sang penari dalam keadaan tidak sadar atau kesurupan.
Tari gundala-gundala dikenal juga dengan sebutan tari Gundala Karo merupakan tari berasal dari Kabupaten Karo yang terletak di kawasan Bukit Barisan, Sumatera Utara. Tarian gundala-gundala disajikan saat warga Karo mengalami kemarau panjang.
Ritual ini warga lakukan untuk memanggil hujan atau dalam bahasa batak disebut Ndilo Wari Udan. Para penari Gundala menggunakan kostum dengan pakaian seperti jubah dan topeng yang terbuat dari kayu.
Suling dewa merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum tarian berlangsung, masyarakat Bayan akan menentukan hari, waktu, dan tempat yang dinilai baik untuk melaksanakan ritual tersebut.
Selain itu, masyarakat Bayan juga menyiapkan sesaji berupa kembang, makanan dan kapur sirih. Kapur sirih ini menjadi komponen yang paling penting dan dipercaya dapat mendatangkan hujan. Keunikan lain yaitu suling yang digunakan, ada filosofis yang begitu mendasar dan mulia.
Alat musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, apabila seruling ini tidak diberikan hembusan napas, maka tidak akan menghasilkan nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau roh, tentu tidak akan ada kehidupan.
Ritual memanggil hujan ini ada di Bali. Tradisi ini dilakukan secara turun temurun sejak peperangan kerajaan Karangasem dengan kerajaan Seleparang di Lombok. Dilakukan oleh dua kelompok pria dewasa yang saling pukul dengan rotan yang dilengkapi tameng sebagai pelindung.
Sebagai penengah, pertarungan ini dipimpin oleh wasit yang disebut Saye. Oleh warga Karangasem, darah yang ditimbulkan dari pertarungan gebug ende ini diyakini dapat mendatangkan hujan.
Di setiap akhir musim kemarau yang panjang, Desa Tapen, Kecamatan Bondowoso, Jawa Timur, warga berkumpul untuk menyaksikan ritual Ojung. Ritual ini dilakukan sebagai permohonan untuk memanggil hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ritual ojung, dua orang pria berhadapan dengan bertelanjang dada sambil menggenggam erat sebatang rotan. Pertarungan ini akan dipimpin oleh seorang wasit.