SERAYUNEWS–Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan setiap orang adalah guru. Pesan Ki Hajar Dewantara ini sangat terasa saat melihat sekolah alam MTs (Madrasah Tsanawiyah) PAKIS (Piety,Achievement,Knowledge, Integrity, Sincerity).
Sekolah tersebut terletak di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, sekitar18 km sebelah barat laut Alun-alun Purwokerto.
Di sekolah ini semua orang adalah warga belajar. Tidak ada guru tetap yang mengajar di sekolah ini kecuali seseorang bernama Isrodin yang merangkap sebagai penjaga sekolah sekaligus kepala sekolah. Selebihnya adalah sukarelawan.
Seluruh siswa MTs Pakis berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jadi, sekolah benar-benar menggratiskan biaya sekolah itu, mulai dari biaya pendaftaran, daftar ulang, hingga biaya bulanan.
Meski begitu, seringkali, orang tua siswa membawa hasil bumi, seperti beras, ketela pohon, pisang, ubi jalar, dan ayam meski tak wajib.
Itu adalah tanda terima kasih kepada para pengajar yang telah memberi kesempatan anak-anak mereka bersekolah, di tengah impitan ekonomi.
Teringat ucapan Romo Mangun (YB Mangunwijaya), tokoh dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa. Jadi, dari sekolah ini kita menemukan penggagasnya bernama Isrodin.
Isrodin (42) memang sejak masih kuliah di jurusan Manajemen Pendidikan Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, sudah melakukan kegiatan pemberantasan buta aksara.
Tahun 2006, ia mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Satria Tama. Setelah itu, ia aktif di beberapa kegiatan literasi.
Sosok yang biasa dipanggil Kang Is ini kemudian mendirikan PKBM Argowilis. Dari sini, ia mendirikan forum taman baca se-kabupaten. Idenya terus berkembang dengan boarding school mbangun desa. Kegiatannya, belajar dengan cara keliling desa di area pegunungan, dan persawahan.
Kemudian, Kang Is fokus mengembangkan sanggar belajar Paket C di Grumbul Pasawahan sejak awal 2010-an lalu melalui PKBM Argowilis.
Momentum pendirian sekolah berawal dari diskusi antara masyarakat dan relawan Yayasan Argowilis. Hasilnya, mereka bersepakat menginisiasi layanan pendidikan setingkat SLTP dan pesantren.
Itu sebabnya, sekolah ini berbasis pada potensi sekitar, yakni pertanian, hutan, dan alam. Kang Is menyebutnya sebagai sekolah berbasis agro-foresty.
Akhirnya, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pakis berdiri pada tanggal 25 Juli 2013. Sekolah itu terletak di bawah Hutan Pinus, di pinggir Telaga Kumpedi.
Sekolah diasuh para relawan guru, juga sebagai sahabat dan teman belajar. Hingga kini, ada 200 anak yang pernah belajar di MTs Pakis, 80 orang di antaranya berhasil lulus lalu melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi.
Ada juga yang berhenti di tengah jalan lantaran harus bekerja membantu orangtuanya atau menikah. Pada tahun 2023 sekolah ini memiliki 22 siswa, kelas VII sebanyak 9 anak, kelas VIII sebanyak 8 anak dan kelas IX sebanyak 7.
Walau memiliki bangunan permanen, siswa-siswa tak menghabiskan waktu sepanjang hari di kelas. Mereka membagi kegiatan akademik dan kegiatan pembelajaran alam, seperti bertani, beternak, dan belajar mengenal alam sekitar.
Apa yang dikembangkan Kang Is sungguh luar biasa. Ia menerapkan ucapan Socrates, pendidikan itu mengobarkan api, bukan mengisi bejana.
Pendidikan sejati adalah yang menyulut api keingintahuan dan semangat belajar dalam diri seseorang. Ia tidak hanya menuangkan pengetahuan.***(O Gozali)