
SERAYUNEWS- Di tengah riuh perayaan Dies Natalis ke-62 Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), seorang pemuda berdiri tegap di balik kelir.
Tangannya lincah menggerakkan tokoh wayang yang ia cintai: Bimo dalam lakon “Bimo Ngaji”. Suara gamelan berbaur dengan narasi penuh penjiwaan, dan penonton pun terhanyut.
Pemuda itu bernama Lulut Ardianto, mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed angkatan 2025. Ia lahir pada 16 Januari 2008 usia yang terbilang muda untuk seorang dalang yang sudah tampil di banyak panggung formal.
Lulut tidak lahir dari keluarga dalang terkenal. Orang tuanya bekerja sebagai wirausaha. Tidak ada darah pedalangan yang mengalir secara turun-temurun.
Namun, setiap kali ia menonton pagelaran wayang, ada getaran yang tumbuh dalam dirinya.
“Pertama sih karena senang ya. Sering nonton wayang, terus jadi tertarik,” katanya sambil tersenyum.
Sejak SMP, ia mulai belajar dengan tekun di bawah bimbingan Dalang Sikit di Cilacap.
Sabetan wayang ia pelajari dari nol. Malam-malam panjang ia habiskan untuk berlatih, bukan karena tuntutan siapa pun melainkan panggilan hati. “Wayang itu seperti rumah,” ujarnya pelan.
Tidak setiap bulan ia tampil. Namun setiap panggung di Banyumas, Cilacap, hingga Purbalingga selalu ia maknai sebagai bentuk pengabdian. Baginya, satu penonton yang tersentuh sudah cukup menjadi alasan untuk terus berkarya.
Dalam dunia kampus yang dipenuhi tugas dan kehidupan akademis, ia tetap teguh memegang dua hal yang memperkaya hidupnya: ilmu hukum dan seni pedalangan.
“Tetap menekuni pedalangan. Tapi pendidikan hukum juga tetap,” tegasnya.
Ia ingin menjadi ahli hukum yang tidak hanya paham undang-undang, tapi juga akar budaya bangsanya.
Lulut tahu bahwa wayang tidak selalu populer di mata anak muda zaman sekarang. Namun ia percaya bahwa seni tradisi tak boleh kalah oleh zaman.
“Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” “Coba sering nonton, resapi nasihatnya… pasti lama-lama suka.”
Suaranya terdengar penuh harap.
Ia menatap masa depan dengan keyakinan bahwa wayang akan selalu relevan, karena cerita kehidupan manusia tak pernah berubah: tentang kebaikan, perjuangan, dan pilihan.
Saat lakonnya usai malam itu, tepuk tangan membahana. Orang-orang memuji. Namun yang paling berharga bagi Lulut adalah ketika budaya itu masih hidup di hati penonton muda.
Kehadirannya sebagai dalang di panggung utama Unsoed bukan hanya penampilan, melainkan simbol bahwa harapan bagi wayang kulit tidak padam.
Talenta seperti Lulut adalah bukti kuat bahwa seni tradisi tidak akan hilang selama ada anak muda yang setia menjaganya.
Jika kamu berkesempatan melihat pertunjukannya suatu hari nanti, perhatikan baik-baik: di balik tokoh wayang yang bergerak, ada seorang anak muda yang sungguh percaya bahwa budaya adalah identitas yang harus terus diperjuangkan.
Dan malam itu, Lulut Ardianto memperjuangkannya dengan sepenuh hati.