SERAYUNEWS—Dalam ritus Jawa, ruwat artinya bersih, ruwatan membersihkan. Sukerta adalah hal-hal yang buruk.
Jadi, Ruwatan Sukerta adalah kegiatan dengan tujuan membersihkan manusia dari kotoran rohani yang dapat menghalangi dari ketenteraman, kebahagian dan kesuksesan.
Masyarakat Jawa mengenal ritual kuno pembersihan diri ini jauh sebelum masuknya agama-agama samawi di Indonesia.
Acara Ruwatan Sukerta inilah yang menjadi penutup Festival Banjoemas Kota Lama yang penyelenggaranya oleh Pemkab Banyumas sejak Jumat 5 Juli 2024,.
Prosesi Ruwat Sukerta berlangsung pada Minggu 7 Juli 2024 di Halaman Bale Adipati Mrapat Kawasan Banjoemas Kota Lama, Kecamatan Banyumas.
18 Orang dan tiga di antaranya berasal dari luar Banyumas mengikuti proses ini. Peserta ruwatan adalah mereka.yang masuk dalam kategori sukerta antara lain ontang anting, tunggak aren, pancuran kapit sendang, kedhana kedhini dan kelungse.
Bagaimana sebenarnya awal mula tradisi Ruwatan Sukerta dan apa saja kategori Sukerta, beikut penjelasannya.
Dalam sebuah penelitian dari jurnal Satwika, tradisi ruwatan berasal dari cerita pewayangan. Dalam dunia pewayangan, Batara Guru memiliki dua orang wanita, yaitu Pademi dan Selir.
Dari Pademi lahir anak laki-laki bernama Wisnu dan dari Selir juga menurunkan anak laki-laki bernama Batarakala. Setelah dewasa, Batarakala tumbuh menjadi seorang yang jahat. Ia kerap mengganggu anak-anak manusia untuk dimakannya.
Sifat jahat Batarakala ini disebabkan oleh hawa nafsu sang ayah, Batara Guru yang tidak terkendalikan. Dulu, Batara Guru dan Selir sedang bercengkrama mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seekor lembu.
Tiba-tiba, hasrat seksual Batara Guru timbul dan ingin bersetubuh dengan istrinya. Namun, Selir menolak, sehingga jatuhlah air mani Batara Guru ke tengah samudera.
Air mani ini kemudian berubah menjelma menjadi raksasa yang orang kenal dengan nama Batara Kala.
Konon, Batara Kala meminta makanan yang berwujud manusia kepada Batara Guru. Batara Guru pun mengizinkan dengan syarat manusia yang ia makan adalah wong sukerta. Wong Sukerta adalah orang-orang yang mendapat kesialan.
Selain Sukerta karena kesalahan dan dosa setelah menjalani kehidupan, terdapat juga Sukerta yang bawaan sejak lahir.
Menurut kepercayaan Jawa, ada beberapa anak sukerta yang perlu mendapat bimbingan, antara lain ontang-anting (anak tunggal), pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki di tengah), sendang kapit pancuran (tiga anak, perempuan di tengah), uger-uger lawang (dua anak laki-laki).
Ada pula anak yang perlu dididik terkait dengan kondisi saat dilahirkan, misalnya julung wangi (lahir saat matahari terbit), julung pujud (lahir saat matahari terbenam), julung sungsang (lahir tengah hari), tiba-tiba sampir (lahir melalui plasenta), dan lawang dia (lahir saat candikala, saat langit berwarna merah kekuningan).
Dalam keyakinan masyarakat Jawa, cerita di atas secara turun temurun diyakini kebenarannya. Jadi, jika Batara Kala tidak memangsa manusia seperti tersebut di atas, ada ritual ruwatan.
Dalam bahasa Jawa, kata ruwat sama dengan kata luwar yang berarti terbebas atau terlepas. Jadi, ruwatan berarti upacara yang bertujuan agar seseorang dapat terbebas atau terlepas dari bahaya.
Kata kala dalam Batara Kala memiliki arti waktu. Itu mengisyaratkan bahwa seseorang yang tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya akan menjadi orang bodoh yang dikuasai oleh Batara Kala***(O Gozali)