Cilacap, serayunews.com
Sejarawan Cilacap yang juga penulis buku ‘Jejak-jejak sejarah Cilacap’, Thomas Sutasman menyebutkan, pemberontakan regu Kusaeri terinspirasi oleh gerakan Supriyadi di Blitar dua bulan sebelumnya. Sedianya mereka akan menyerang sebuah markas Keibitai (penjagaan pantai) tentara Jepang yang terletak di sekitar Bukit Srandil.
“Jadi markas PETA regu Kusaeri ini berada di Gumilir, mereka berencana menyerang markas tentara Jepang di Srandil. Sebelum menyerang, ia juga mengajak regu lain untuk ikut menyerang,” katanya kepada serayunews.com, Selasa (2/8/2022).
Menurutnya, rekan sejawat Kusaeri yang diajak untuk ikut penyerangan antara lain, dari regu Sarjono, Darman, dan Sukir. Selain itu, Kusaeri juga mengajak Syudancho Sudarwo, Shikihancho Achmadi, dan Keiri Bundancho Subagyo, yang berasal dari markas batalyon PETA Cilacap.
“Targetnya, setelah menguasai markas tersebut, Kusaeri bermaksud mengajak batalyon PETA Kroya dengan pimpinan Daidancho Sudirman (kemudian jadi Panglima Besar TKR), untuk bergabung dan melakukan pemberontakan yang lebih besar,” tuturnya.
Sayangnya, lanjut Thomas, ketika pasukan tersebut mulai bergerak menuju arah Bukit Srandil, mereka dikepung oleh pasukan tentara Jepang di sekitar Adipala. Ternyata aksi penyerangan tersebut, telah bocor oleh penghianat di pihak PETA.
“Karena ada penghianat yang membocorkan aksi penyerangan itu, pasukan PETA dihadang di Adipala. Pertempuran sengit antara kedua belah pihak pun terjadi di sana,” ujarnya.
Thomas menambahkan, dalam pertempuran tak seimbang itu, akhirnya para pasukan PETA tercerai-berai dan kemudian berhasil ditangkap setelah beberapa hari bersembunyi. Akhirnya, Kusaeri dan 18 orang pemberontak lainnya dibawa ke Jakarta untuk diajukan ke pengadilan militer.
“Di pengadilan militer, Kusaeri divonis hukuman mati, tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu,” jelasnya.