Purbalingga, serayunews.com
Nama Bonsai, berasal dari bahasa Jepang yang terdiri dari dua suku kata. Bon artinya pot dan Sai artinya tanaman. Namun, untuk kerajinannya justru lebih cenderung dilakukan orang-orang Cina. Karena keindahan dan kecantikannya, penggemar tanaman bonsai meluas hampir ke seluruh dunia.
Keindahan bonsai, terletak pada ukurannya yang mungil. Pada dasarnya, semua tanaman bisa jadi bonsai asalkan berbatang dan mampu hidup di media terbatas. Namun, beberapa yang familiar untuk jadi bonsai di antaranya jenis beringin, bugenvil, asam jawa, canting putri, dan cantigi.
“Cuaca Purbalingga, cocoknya anting putri dan vikes. Santigi tidak cocok, cemara tidak terlalu cocok. Kalau jenis sinensis cenderung di daerah dingin,” kata Ketua Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Cabang Purbalingga, Tri Hardi Wardoyo, Sabtu (14/01/2023).
Baca juga: [insert page=’purbalingga-lirik-potensi-tanaman-bonsai-untuk-meningkatkan-perekonomian’ display=’link’ inline]
Meski ukuran tanamannya pendek, namun nilai jual bonsai bisa selangit. Satu tanaman bisa memiliki nilai jual dari puluhan juta, sampai ratusan juta. Penentuan nilai jual itu dari beberapa poin yang jadi indikatornya.
“Bisa dari jenis tanamannya apa, semakin langka semakin mahal. Bisa juga karena pembentukannya, dan bisa juga usia tanamannya,” katanya.
Tak heran, jika hobi merawat bonsai, bisa jadi suatu bentuk investasi. Maka dari itu juga banyak yang menekuni, sebab dari hobi bisa mendatangkan hoki. Sesuai filosofi, ada keyakinan bonsai membawa keberuntungan pada pemiliknya.
Baca juga: [insert page=’omzet-rp-15-juta-dari-bisnis-tanaman-hias-usai-terpuruk-bisnis-akik-ini-cerita-warga-banjarmangu’ display=’link’ inline]
Di wilayah Kabupaten Purbalingga sendiri, cukup pesat persebaran dan perkembangan bonsai. Baik murni kolektor, pehobi, sampai petaninya. Mereka tergabung di sejumlah komunitas. Misalnya komunitas Tunggak semi, Kalpataru, Boncis, Bossmek, BBC, Combat.
“Lebih dari 500 orang yang terdata, itu mulai dari petani, kolektor dan juga kolekdol, artinya ya koleksi tapi kalau ada yang menawar dan harga cocok, ya dijual,” ujarnya.
Untuk bahan, kata Tri Hardi, harganya juga bervariatif masih di kisaran puluhan dan ratusan ribu. Tapi untuk tanaman tertentu yang sudah sangat langka bisa sampai ratusan juta, hanya untuk satu batang bahan bonsai.
“Di Purbalingga rata-rata jenis anting putri dan bugenvil, serta beringin paling banyak. Bugenvil kulak dari Medan, anting putri Riau,” ujarnya.
Potensi pasar untuk Bonsai, juga masih sangat luas. Para petani di Purbalingga, sering mengirim ke wilayah Jogja, Surabaya, dan Bali. Baik untuk pertamanan, perhotelan, maupun untuk hobi pribadi.
“Kalau bicara potensi, ya sangat terbuka potensinya untuk profit oriented,” katanya.
Tri menjelaskan, penggemar bonsai makin banyak. Para pecintanya terus berupaya menjaga keberlangsungan dengan tidak dianjurkan untuk mencongkel bahan bonsai yang tumbuh di alam bebas.
“Beberapa keuntungan budi daya, pertama tidak merusak yang di alam. Karena kalau nyongkel, pola dan bentuk lebih mengikuti aslinya. Kalau dari pembibitan, itu bisa diarahkan dan dibentuk sejak masih muda, jadi lebih bebas mengeksplore bentuk,” katanya.
Bagi para penggemar bonsai, ketelatenan merawat yang menjadi kenikmatannya. Termasuk juga dalam proses pembentukannya, mau dipilih pola seperti apa dengan kebebasan berekspresi.
“Nikmatnya justru pas merawatnya, lagi senggang, ngopi sambil melihat, kalau tercetus ide bentuk apa, langsung eksekusi. Jadi benar-benar bisa melepas stres setelah rutinitas,” katanya.
Peluang pendapatan dari hobi bonsai, tidak hanya jualan saja. Bagi pehobi atau kolektor yang sudah tidak sempat merawat, bisa memakai jasa dokter bonsai. Tugasnya merawat mulai dari pemupukan, pemotongan, dan pembentukan.
“Trainer lokal kisaran Rp 150 – Rp 200 ribu sehari. Sehari bisa merawat beberapa tanaman, tapi bisa saja 1 tanaman tidak selesai tergantung bentuk dan kondisi tanaman,” kata dia.