
SERAYUNEWS- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia.
Menurut Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, lebih dari separuh anak perempuan usia 13–17 tahun pernah mengalami sedikitnya satu bentuk kekerasan.
Bentuk kekerasan itu mencakup fisik, seksual, maupun psikis. “Fenomena ini adalah gunung es. Banyak kasus tidak pernah terungkap karena korban takut melapor atau terhalang stigma sosial,” ujar Menteri Arifah.
Hal itu Menteri Arifah sampaikan saat hadir dalam Sidang Senat Terbuka Dies Natalis ke-24 Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (FK Unsoed) Purwokerto.
Dia membawakan tema “Kekerasan Seksual pada Usia Dini: Membongkar Akar, Merespon Fenomena Anak Menjual Keperawanannya.”
Menteri Arifah menekankan bahwa perempuan dan anak merupakan potensi besar bangsa, mengisi hampir dua pertiga populasi Indonesia.
Menteri Arifah menyoroti kasus anak yang dipersepsikan menjual keperawanannya. Menurutnya, hal itu sejatinya merupakan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) atau Anak yang Dilacurkan (AYLA).
“Mereka adalah korban kegagalan sistem perlindungan, kemiskinan, dan minimnya akses pendidikan. Ironisnya, mereka justru mendapat stigma negatif, padahal sejatinya mereka butuh perlindungan,” tegasnya.
Selain itu, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) hingga 20 September 2025 menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih menjadi kasus terbanyak yang menimpa anak.
Untuk perempuan, kasus paling banyak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Arifah juga menyinggung ruang pendidikan, termasuk perguruan tinggi, yang ternyata rentan terhadap kekerasan.
Data Kemendikbudristek 2020 menunjukkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63% kasus tidak dilaporkan.
“Ini alarm keras. Kampus harus menjadi ruang aman, bukan sebaliknya,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, pemerintah telah menerbitkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.
Regulasi ini mewajibkan perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).
Rektor Unsoed Purwokerto, Prof. Akhmad Sodiq, menegaskan kampus siap menjadi agen perubahan dan memperkuat peran perempuan dalam agenda strategis.
Ia menyoroti tantangan serius di Banyumas, yakni Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan yang baru mencapai 20 persen, lebih rendah dari rata-rata Jawa Tengah 20–24 persen.
“Unsoed akan bekerja lebih keras agar akses pendidikan yang berkualitas bisa merata,” ujarnya.
Sebagai penutup, Menteri Arifah mendorong perguruan tinggi aktif mendukung Gerakan Ruang Bersama Indonesia (RBI). Gerakan ini berbasis desa/kelurahan dengan program holistik berperspektif perempuan dan anak.
“Melindungi perempuan dan anak adalah tanggung jawab bersama. Mereka adalah dua pertiga penduduk Indonesia dan kunci keberhasilan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya.