SERAYUNEWS– Ada sejumlah tradisi yang masyarakat lakukan, sebelum memasuki Bulan Suci Ramadan. Tradisi itu masih tetap lestari, di tengah arus globalisasi yang tak terbendung.
Selain tradisi Nyadran, ada sejumlah tradisi lain yang masih terawat di wilayah Nusantara. Mengutip berbagai sumber, berikut beberapa tradisi masyarakat menyambut datangnya Bulan Ramadan.
Lain daerah, lain pula tradisinya. Masyarakat di Kabupaten Klaten, Boyolali, Kota Salatiga dan Yogyakarta, biasa melakukan upacara berendam. Mereka mandi di sumur-sumur atau sumber mata air, di tempat-tempat kramat.
Tradisi Padusan bermakna agar jiwa dan raga seseorang yang akan berpuasa, bersih secara lahir dan batin. Padusan juga bermakna sebagai pembersihan diri, atas segala kesalahan dan perbuatan dosa sebelumnya.
Tradisi Dugderan ini berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Nama Dugderan sendiri berasal dari kata Dug dan Der. Kata Dug dari suara dari bedug masjid yang di tabuh berkali-kali, sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadan.
Sedangkan kata Der sendiri berasal dari suara dentuman meriam, bersamaan dengan tabuhan bedug. Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini, terus bertahan di tengah perkembangan zaman.
Tradisi ini biasanya 1-2 minggu sebelum puasa mulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat.
Perayaan tradisi Dandangan merupakan sebuah tradisi di kota Kudus menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan. Dandangan merupakan pasar malam di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan Sunan Kudus, dan meluas ke lokasi-lokasi di sekitarnya.
Pada tradisi Dandangan ini, ada beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan rumah tangga, pakaian. Ada nuga sepatu, sandal, hiasan keramik, sampai dengan mainan anak-anak serta makan dan minuman.
Tradisi ini sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Syeh Jakfar Shodiq (Sunan Kudus). Pada saat itu, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara. Mereka menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal puasa.
Mungguhan merupakan satu kegiatan berkumpul bagi anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga teman-teman kita. Mereka saling bermaaf-maafan, sambil menikmati sajian makanan khas untuk kemudian mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi Bulan Ramadan.
Tradisi ini adalah kebiasaan orang Sunda dalam menyambut datangnya Bulan Ramadan. Biasanya tradisi oleh hampir semua golongan masyarakat, walaupun dengan cara yang berbeda-beda.
Bagi masyarakat Betawi, ada tradisi Nyorog. Tradisi ini yakni membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua. Bisa Bapak/Ibu, Mertua, Paman, Kakek/Nenek, dan menjadi sebuah kebiasan yang sejak lama sebelum datangnya Bulan Ramadan.
Meski istilah Nyorognya sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan sampai sekarang masih ada di dalam masyarakat Betawi. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah. Ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lainnya.
Tradisi Nyorog di masyarakat Betawi, memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan, bahwa bulan suci Ramadhan akan segera datang. Selain itu tradisi Nyorog juga sebagai pengikat tali silahturahmi sesama sanak keluarga.
Di Surabaya, menjelang Ramadan ada tradisi ‘Megengan’. Konon, tradisi ini di mulai dari kawasan Ampel, di sekitar Masjid Ampel, Surabaya. ‘Megengan’ di tandai dengan makan apem, semacam serabi tebal berdiameter sekitar 15 senti, dibuat dari tepung beras.
Apemnya nyaris tawar, seperti kue mangkok yang di pakai warga keturunan Tionghoa untuk sembahyangan menjelang Imlek. Nama apem atau apam, berasal dari kata afwan dalam bahasa Arab yang berarti maaf.
Tradisi makan apem ini untuk memaknai permintaan maaf kepada sesama saudara, kerabat, dan teman. Ada kegiatan tahlilan juga. Setelah tahlil, apem dan pisang dibagikan kepada semua keluarga dan tetangga.
Kegiatan Tradisi Padusan yang digelar di Umbul Ngabeyan Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. (Foto: Pemprov Jateng)