Bagi yang mendalami studi ke-islaman, maka secara sosio-anthro-politik dan religius, umat islam, khususnya di Indonesia, mempunyai mimpi yang bermacam-macam dalam cara pandang politik kenegaraan.
Pertama, kelompok yang bermimpi agar Indonesia menjadi negara Islam ( darr- al Islam ). Kelompok ini sangat meyakini kebenaran islam sebagai sebuah sistem yang paripurna, dalam hal apapun. Juga penting menerapkan Islam sebagai prinsip legal-formal dalam negara, sehingga perlu suatu deklarasi tentang negara Indonesia menjadi negara Islam. Doktrin Islam ad-din wa daulah benar-benar ingin diterapkan di Indonesia, yang memang secara faktual, mempunyai modal kapital jumlah umat Islam terbesar di dunia. Tetapi kelompok ini tidak menyadari atau masa bodoh dengan eksistensi umat lain dan kepercayaan yang secara faktual juga jumlahnya besar. Kelompok ini ada yang terstruktur secara sistematis, seperti Hizbut Tahrir, dan kelompok-kelompok radikal berupa jaringan, sepeeti JI, Anshorut Daulah, anasir ISIS, dan sebagainya. Mereka bergerak secara sporadis dan frontal.
Kedua, kelompok yang menghendaki formalisasi syariat Islam, sebagai hukum nasional, tetapi tetap dalam bingkai NKRI. Hukum nasional dipandang sebagai produk hukum sekuler dan kafir serta dianggap bertentangan dengan hukum Islam dan kepentingan umat Islam. Berbagai ketidakadilan yang terjadi dipandang bersumber kepada hukum yang dibuat oleh pikiran-pikiran manusia. Sehingga penuh dengan motivasi dan kepentingan penguasa, jauh dari memenuhi rasa keadilan kepada rakyat. Maka kelompok ini menginginkan hukum yang berdasarkan hukum Allah, hakimiyat Allah, untuk menciptakan keadilan di Indonesia. Disamping itu, dalam.Al Quran juga diperintahkan:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)
“Barang siapa menghukumi (suatu perkara) tidak dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itu orang-orang kafir”
Ayat ini kemudian ditafsiri secara sepihak oleh kelompok ini, sehingga muncul stigma kafir bagi kelompok yang menolak formalisasi syariat. Padahal menurut Hamid Enayat (Bassam Tibbi, 2004), yang mereka klaim sebagai hukum Allah, hakimiyat Allah, adalah produk fiqh juga. Disini kita melihat pembodohan dan penipuan terhadap umat.
Ketiga, kelompok yang menolak pendekatan formal agama terhadap politik. Politik adalah urusan dunia, bukan urusan agama. Jadi, prinsip politik memang sekuler. Jika agama dicampurbaurkan dengan politik, ini menistakan agama. Agama akan dijadikan alat untuk kepentingan politik.
Diksi dan ketegangan antara agama vs negara, seharusnya sudah berakhir 76 tahun yang lalu, ketika para founding fathers negara kita, telah secara bijak, merumuskan kaidah-kaidah yang bernuansa fiqh, berupa Pancasila dan UUD 1945. Di situ ada peran ulama yang mewakili umat Islam, seperti KH. Wahid Hasyim dari NU, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Saya sebutkan dua tokoh ini saja, yang mewakili jumlah umat Islam terbesar. Di situpun ada peran penting Guru Para Ulama Nusantara, Hadratussaikh Hasyim As’ary, figur ulama serba bisa dengan ilmu keislaman yang lengkap.
Kelompok ini melihat, tidak penting negara Islam, yang penting itu islami. Tidak penting pula hukum islam, yang penting tegaknya keadilan. Justru cita-cita negara Islam dan pemberlakuan hukum islam, menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Mengapa? Karena rakyat Indonesia bukan hanya yang beragama Islam, tapi ada kelompok lain yang juga berhak hidup dan bahagia di Indonesia.
Jadi rumusan fiqh berupa Pancasila dan UUD 1945, itu bagian dari pancaran hakimiyat Allah, yang kontekstual dengan keadaan sosio-historis Bangsa Indonesia. Dengan kaidah tersebut pulalah sampai detik ini, Indonesia masih utuh, walau masih banyak para pemimpi, atas nama agama, terus berkelindan untuk menghancurkan negara kita.*
Penulis : Toufik Imtikhani.