Sosok Kiai Bonokeling yang makamnya ada di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas adalah sosok yang misterius. Sejarahnya tidak bisa dipastikan. Sebab, anak keturunan Bonokeling memang merahasiakan cerita leluhurnya tersebut.
Anak putu (keturunan) Bonokeling memiliki ritual yang unik bernama punggahan. Ritual ini dilakukan anak putu Bonokeling dengan berziarah di makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang. Ritual ini unik karena semua anak putu datang ke Jatilawang dengan berjalan kaki.
Misalnya saja, mereka yang dari Cilacap, juga jalan kaki hingga sampai Jatilawang. Jarak yang ditempuh bisa mencapai 30 sampai 50 kilometer. Ribuan anak putu Bonokeling akan tumplek di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang dalam acara punggahan yang dilakukan jelang Ramadan.
Saat ritual punggahan itu, mereka menggunakan pakaian seragam. Yang lelaki memakai pakaian hitam dan yang perempuan memakai jarik dengan pakaian kemben.
Komunitas Bonokeling ini dikenal dengan sebutan Islam kejawen. Tradisi Jawa sebelum Islam, masih digunakan. Mereka dalam melakukan penghitungan penentuan keagamaan menggunakan kalender Aboge. Maka, mereka pun juga disebut Islam Aboge.
Lalu siapa sebenarnya Bonokeling atau sering juga disebut Kiai Bonokeling? Nah, inilah yang misteri. Sebab, memang jatidiri Bonokeling ini dirahasiakan. Yang pasti, Bonokeling bukan nama asli, hanya nama samaran.
Bono itu berarti tempat atau wadah dan keling itu berarti hitam. Sementara siapa sebenarnya Bonokeling masih belum jelas. Tapi ada juga tulisan yang menjelaskan siapa Bonokeling ini. Namun, sejarah itu dibantah oleh anak cucu Bonokeling.
Sejarah yang dibantah itu menceritakan bahwa Bonokeling memiliki nama asli Banyak Tole yang merupakan anaka dari Adipati Pasirluhur, Banyak Blanak. Namun, Banyak Tole ini selisih paham dengan sang ayah hingga mengubur hidup-hidup sang ayah.
Karena itu, Banyak Tole melarikan diri dan dia kemudian ada di Pekuncen, Jatilawang dengan nama samaran Bonokeling. Dalam cerita itu, Banyak Tole disebut tidak mau menerima Islam. Namun, uniknya saat di Pekuncen, dia yang dikenal dengan sebutan Bonokeling, mengidentifikasi sebagai Islam.
Namun, sekali lagi, cerita versi ini ditentang keras oleh anak putu Bonokeling. Sebab, Bonokeling tidak mengajarkan pembunuhan. Lagipula Bonokeling adalah pemeluk Islam, bukan penolak Islam.
Ada juga cerita yang menyebut bahwa di Banyumas ada tiga sosok dalam penyebaran Islam. Mereka adalah Kiai Makdum Wali, Kiai Mustoleh, Kiai Bonokeling. Kiai Makdum Wali mendapatkan tugas menyebarkan agama Islam di Banyumas bagian utara. Kiai Mustoleh menyebarkan Islam di Banyumas tengah, dan Kiai Bonokeling menyebarkan Islam di wilayah selatan.
Dugaan yang muncul, dakwah yang dilakukan Kiai Bonokeling belum sempurna sehingga, pengikutnya lebih kental dengan nuansa Jawa.
Namun, sekali lagi, sosok Bonokeling ini masih misterius. Sosok ini masih dirahasiakan oleh keturunannya.
Referensi:
Arnis Rachmadhani: Kerukunan dalam Ritual Trah Kejawen Bonokeling di Desa Pekuncen Kabupaten Banyumas
Bambang H Suta Purwana, Sukari, Sujarno: Sistem Religi Komunitas Adat Bonokeling