SERAYUNEWS— Ada koreo merah-putih-biru menghiasi pertandingan Timnas Indonesia melawan Vietnam di Stadion Bung Karno (21/3/2024).
Sontak ramai di media sosial, hampir semua netizen menganggap itu bendera Belanda. Padahal menurut Kelompok Suporter La Grande Indonesia, pembuat koreo,itu bukan bendera Belanda. Warna biru di koreo tersebut adalah simbol langit. Artinya merah putih di langit biru.
Menurut Media Komunikasi La Grande Indonesia, Ilham Harahap, corak warna suporter ini sebetulnya bukan bendera Belanda. Warna biru hadir untuk memberikan nuansa langit.
“Kalau tema besarnya, bendera merah putih dianggap paling tinggi. Tadi sih juga banyak yang komentar, kayak bendera belanda. Tapi, namanya koreo, beda perspektif. Biru itu sih, sebenarnya nuansa langit,” ujar Ilham Harahap seusai pertandingan.
Koreografi yang orang inilai bercorak bendera Belanda ini memang cukup sensitif belakangan ini. Pasalnya, banyak pemain naturalisasi kelahiran Belanda saat ini memperkuat Timnas Indonesia.
Hal itulah yang membuat koreografi La Grande Indonesia pada pertandingan Timnas Indonesia melawan Vietnam ini langsung menggemparkan karena orang anggap berhubungan dengan isu pemain naturalisasi.
Belum lagi soal Stadion yang menyandang nama Bung Karon, merupakan simbol spirit perjuangan memperjuangkan kemerdekaan bangsa melawan penjajahan Belanda-Jepang pada era kolonialisme.
Sampai ada netizen yang menanggapi bercanda koreografi tersebut ingin membangkitkan kejayaan sepakbola Timnas Indonesia, yang saat itu masih bernama Hindia Belanda pada tahun 1938.
Negara dan mata uang adalah dua dari banyak contoh mitos bersama atau shared myth yang dibentuk oleh manusia selama ratusan ribu tahun.
Penulis Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Harari, menyampaikan pandangan itu. Menurutnya, mitos bersama adalah sebuah fiksi atau kisah yang diceritakan untuk mengarahkan manusia pada satu persepsi yang sama dan hidup menurut persepsi itu.
Mitos nasionalisme dalam mata uang akhirnya runtuh dengan lahirnya mata uang tunggal Euro. Nasionalime senagai fiksi yang saat ini sudah orang tinggalkan.
Dahulu, nasionalisme juga dipupuk melalui konflik (perang) bahkan sampai genosida, sekarang ajang olahraga seperti Piala Dunia dan Olimpiade adalah acara yang terus melanjutkan konsep negara dan nasionalisme untuk banyak manusia.
Masalahnya, beberapa ras tertentu memiliki keunggulan cabang-cabang olahraga. Pada akhirnya hanya negara-negara tertentu yang bisa menghasilkan juara. Brazil, Argentina, Jerman, Italia dan beberapa negara sepakbola lain. Jika memang demikian, apakah kemudian tidak ada keadilan dalam setiap ajang olahraga ?
Jika konsep negara terlihat lebih kaku, tidak begitu dengan konsep kewarganegaraan. Ada satu jalan keluar yang konon bisa membuat persaingan olahraga lebih adil. Jalan itu bernama naturalisasi.
Timnas Maroko yang mencuri perhatian kemarin di Piala Dunia 2022, ternyata 61,5 persen dari skuadnya merupakan pemain naturalisasi. Pemain-pemain ini kebanyakan lahir di Eropa dan kemudian mengalami naturalisasi untuk memperkuat tim asal Afrika Utara tersebut.
Di Piala Dunia 2018, sebanyak 8 delapan dari 23 personel Timnas Swiss berstatus pemain naturalisasi. Berkat bantuan pemain naturalisasi, Swiss lolos ke 16 besar, sebelum akhirnya kalah 0-1 dari Swedia di babak tersebut.
Pada Pada Piala Asia 2023 kemarin, Timnas Malaysia menjadi tim dari ASEAN yang memiliki jumlah pemain naturalisasi terbanyak, dengan total 14 orang. Indonesia berada di posisi kedua dengan 8 pemain. Uniknya, semua pemain yang menjalani proses naturalisasi untuk membela Indonesia memiliki darah keturunan Indonesia.
Jika para Timnas Perancis datang dari banyak ras atau negara, Brasil sebaliknya; mereka mengekspor banyak pesepakbola ke negara lain.
Sebuah penelitian dari Universitas Ghana (2021), menyatakan naturalisasi atlet bukanlah hal yang baik atau buruk, tetapi lebih kepada respons terhadap perkembangan dunia yang mulai kurang peduli dengan isu nasionalisme.
Mungkin dunia memang sedang berubah, bahwa batas-batas politik semakin kabur, dan semakin tidak masuk akal untuk mempertahankan fantasi tentang kemurnian etnis dan nasional di dunia yang semakin bercampur setiap harinya. Tak salah kata Noah Harari, nasionalisme tinggal mitos.
Kita bisa lihat hasil survei Western Union pada 2017 yang melibatkan lebih dari 10.000 milenial (kelahiran 1980-1995) dari 15 negara, termasuk Indonesia.
Sebanyak 57% dari mereka mendefinisikan diri sebagai warga global, alih-alih warga dari suatu negara tertentu, 88% dari mereka juga menganggap negara-negara harus mulai berkolaborasi alih-alih berkompetisi, sementara 79% berpendapat konsep nasionalisme bisa menghalangi mereka.
Kondisi yang kemudian melahirkan kosmopolitanisme yang percaya bahwa tatanan sosial harus terbuka untuk semua, bukan hanya untuk komunitas tertentu. Konsep ini berkomitmen melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali.*** (O Gozali)