SERAYUNEWS – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Dari pagi hingga malam, banyak orang menghabiskan waktu mereka untuk menggulir layar, membaca berita, menonton video, atau berinteraksi dengan teman di berbagai platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan Twitter.
Bahkan, bagi sebagian orang membuka media sosial adalah kebiasaan pertama setelah bangun tidur dan hal terakhir sebelum tidur.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, “Mengapa kita begitu kecanduan media sosial?’’
Ketergantungan terhadap media sosial bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa alasan.
Platform-platform ini memiliki rancangan sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan mempertahankan pengguna selama mungkin.
Selain itu, media sosial memberikan hiburan, validasi sosial, dan koneksi instan yang merangsang pelepasan dopamin zat pemicu rasa senang di otak.
Ketidakhadiran di media sosial dapat menimbulkan perasaan takut ketinggalan informasi atau dikenal dengan istilah FOMO.
FOMO (Fear of Missing Out) adalah ketakutan atau kecemasan akan ketinggalan informasi, kesempatan, atau pengalaman berharga, terutama akibat media sosial.
Patrick J. McGinnis memperkenalkan istilah ini pada 2004 dan semakin berkembang seiring kemajuan teknologi yang memungkinkan orang terus memantau aktivitas orang lain.
Untuk mengatasi FOMO, penting untuk membatasi penggunaan media sosial, meningkatkan kesadaran diri, dan fokus pada pengalaman nyata.
Konsep JOMO (Joy of Missing Out), yaitu menikmati momen tanpa tekanan untuk selalu terlibat, dapat membantu meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan hidup.
Dengan menerapkan JOMO dan mengelola penggunaan media sosial secara bijak, individu dapat mengurangi kecemasan, menikmati hidup lebih tenang, dan membangun koneksi yang lebih bermakna di dunia nyata.
Kecanduan media sosial telah menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan dalam masyarakat modern. Berikut beberapa penyebab utama yang mendasari kecanduan media sosial:
1. Peningkatan Dopamin dan Rasa Kesenangan
Interaksi di media sosial, seperti menerima like atau komentar positif, dapat memicu pelepasan dopamin di otak, neurotransmitter yang berperan dalam rasa senang dan kepuasan.
Peningkatan dopamin ini membuat individu merasa bahagia saat mengakses media sosial, mendorong untuk terus mengulangi perilaku tersebut.
2. Pelarian dari Stres dan Kesepian
Beberapa orang menggunakan media sosial sebagai alat untuk menghindari stres, kecemasan, atau perasaan kesepian.
Interaksi online dapat memberikan distraksi sementara dari masalah sehari-hari, meskipun penggunaan berlebihan justru dapat memperburuk kondisi emosional dan meningkatkan perasaan isolasi.
3. Tekanan Sosial dan Tren
Tekanan untuk mengikuti tren terkini dan tetap relevan di lingkaran sosial mendorong individu untuk terus terlibat di media sosial.
Ketakutan akan dianggap ketinggalan zaman atau tidak mengikuti arus dapat memicu penggunaan yang berlebihan.
Peningkatan dopamin, pelarian dari masalah, dan tekanan sosial membuat pengguna semakin sulit lepas dari media sosial.
Kesadaran akan penyebab kecanduan media sosial menjadi langkah awal untuk mengatasinya.
Dengan membatasi penggunaan, fokus pada interaksi nyata, dan menerapkan konsep JOMO, kita dapat menjaga keseimbangan hidup serta menghindari dampak negatif dari ketergantungan digital.***