SERAYUNEWS – Di era kemajuan digital saat ini, beragam tren bermunculan di media sosial. Salah satu yang menarik perhatian beberapa waktu adalah Joki Strava.
Jasa ini tidak lazim seperti kebanyakan orang pada umumnya. Pasalnya, ini memunculkan berbagai pertanyaan mengenai motivasi dan dampak dari praktik ini.
Strava sendiri merupakan aplikasi yang pertama kali muncul pada tahun 2009 silam. Tujuan awal perancangan ialah untuk melacak aktivitas olahraga seperti lari, bersepeda, hiking, dan jenis lainnya.
Aplikasi yang satu ini memanfaatkan GPS untuk mencatat pergerakan pengguna dan menghasilkan data. Sebut saja, jarak tempuh, jumlah langkah, rute yang dilalui, dan kecepatan bergerak.
Popularitas Strava tidak bisa dipungkiri meningkat seiring dengan semakin banyak pengguna yang membagikan hasil olahraga mereka di media sosial, baik itu di Instagram Story, WhatsApp Story, dan platform sejenisnya.
Akan tetapi, fungsi awal peluncuran Strava sebagai alat pelacak kesehatan dan kebugaran perlahan bergeser menjadi ajang sosial. Sementara itu, orang-orang berlomba-lomba menunjukkan seberapa aktif mereka.
Di sinilah jasa joki Strava mulai menemukan pasarnya tersendiri. Fenomena tersebut menunjukkan si paling Fomo Olahraga haus validasi.
Selanjutnya, dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hudaniah, S.Psi., M.Si. berusaha memberikan pendapat mengenai isu ini.
Hudaniah menjelaskan bahwa joki Strava adalah istilah untuk menggambarkan seseorang yang mendapat bayaran dengan menjalankan aktivitas olahraga atas nama orang lain di aplikasi Strava.
“Fenomena ini mirip dengan praktik ‘joki tugas’ di dunia pendidikan, di mana seseorang membayar orang lain untuk menyelesaikan tugas atau ujian mereka,” katanya, dikutip serayunews.com dari umm.ac.id pada Jumat (26/7/2024).
Apabila melihat dari sisi psikologis, salah satu dorongan utama di balik penggunaan Strava yaitu kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik setiap hari dan memberikan rasa puas tersendiri.
Namun, acapkali pencapaian ini dibandingkan dengan orang lain. Fenomena tersebut menunjukkan betapa kuatnya dorongan untuk mendapat pengakuai dan penghargaan dari orang lain.
Menurutnya, media sosial memainkan peran penting dalam fenomena joki Strava. Dengan platform seperti Strava, setiap orang memiliki peluang untuk dilihat dan diapresiasi oleh komunitasnya.
Terlebih, Kepala UPT. Bimbingan dan Konseling UMM itu menyebut seorang individu pasti ingin memastikan bahwa dia terlihat berprestasi di mata orang lain.
“Setiap orang memiliki kebutuhan untuk need for exhibition, untuk diketahui kehadirannya dan mendapat pengakuan dari orang lain dengan harapan dapat diapresiasi positif. Sehingga, ini menciptakan peluang pasar bagi penjoki yang mana transaksi joki Strava dapat terjadi,” jelasnya.
Berikutnya, dari analisis teoritik tentang dinamika psikologis, menggunakan jasa joki Strava sebenarnya adalah bentuk manipulasi yang mencerminkan mekanisme pertahanan diri.
Kendati demikian, Hudaniah menyatakan fenomena joki Strava tidak akan bertahan lama, seperti halnya tren-tren yang pernah booming sebelumnya. Namun, penting bagi masyarakat untuk tidak tergoda oleh fenomena ini.
“Tujuan utama olahraga adalah untuk kesehatan, lakukanlah sebisa kita secara bertahap. Kita nggak harus membandingkan dengan orang yang starting pointnya di atas kita,” tandasnya.
Sementara itu, berikut merupakan beberapa dampak negatif dari Joki Strava.
1. Menurunkan nilai kejujuran dan usaha seseorang.
2. Berpengaruh kondisi kesehatan mental.
3. Menciptakan generasi haus validasi.
4. Budaya manipulatif.
5. Fomo olahraga bukan untuk kesehatan merajalela.
Demikian informasi mengenai joki strava. Perhatikan beberapa dampak negatif akan fenomena haus validasi bagi si paling Fomo Olahraga.
***