SERAYUNEWS – Berikut ini informasi tentang perbedaan abolisi dan amnesti. Dua istilah hukum yang belakangan ini kembali mencuat ke permukaan publik adalah abolisi dan amnesti, terutama setelah dikaitkan dengan proses hukum terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.
Keduanya merupakan hak prerogatif Presiden Republik Indonesia dalam sistem hukum pidana, namun memiliki karakteristik dan konsekuensi hukum yang berbeda.
Meski sama-sama berujung pada penghapusan konsekuensi hukum, cara kerja, dasar hukum, serta implikasi dari abolisi dan amnesti tidaklah identik.
Kasus yang menyertakan nama Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto memunculkan kembali diskursus publik mengenai penggunaan dua instrumen ini.
Tom Lembong saat ini diketahui tengah menjalani proses banding atas vonis 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan pada 2015–2016.
Di sisi lain, Hasto Kristiyanto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara terkait manipulasi data dalam proses pergantian antar waktu anggota legislatif periode 2019–2024, dan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan upaya banding.
Secara yuridis, pengaturan mengenai abolisi dan amnesti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi.
Dalam Pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Presiden, atas dasar kepentingan negara, memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti maupun abolisi kepada pihak yang telah melakukan suatu tindak pidana.
Namun, pemberian ini tidak serta merta. Presiden hanya dapat mengeluarkan keputusan setelah memperoleh nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang disampaikan berdasarkan permintaan Menteri Kehakiman.
Sementara itu, dalam Pasal 4 UU yang sama, diuraikan perbedaan mendasar antara kedua kebijakan tersebut.
Amnesti menghapus seluruh akibat hukum pidana dari tindak pidana yang telah dilakukan seseorang, baik yang sedang dalam proses hukum maupun yang telah mendapat putusan pengadilan.
Sebaliknya, abolisi hanya menghentikan proses penuntutan yang tengah berjalan, sehingga tidak dilanjutkan ke tahapan berikutnya dalam sistem peradilan pidana.
Dalam praktiknya, abolisi diberikan melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres). Dengan adanya abolisi, proses penuntutan terhadap individu yang bersangkutan langsung dihentikan.
Artinya, jika seseorang tengah menjalani proses hukum namun belum sampai pada tahap putusan pengadilan, maka proses tersebut tidak diteruskan lagi.
Contoh konkret dapat ditemukan pada Keppres Nomor 115 Tahun 2000 dan Keppres Nomor 88 Tahun 2001, di mana disebutkan secara eksplisit bahwa penuntutan dihentikan bagi para tersangka yang diberikan abolisi.
Berbeda dengan abolisi, amnesti diberikan oleh Presiden namun dengan mempertimbangkan pendapat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.
Keterlibatan DPR menjadi mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dan legislatif agar pemberian amnesti tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Amnesti umumnya diterapkan pada kasus pidana politik, dan bisa diberikan baik sebelum maupun sesudah proses penyidikan atau bahkan setelah adanya putusan pengadilan.
Efek dari pemberian amnesti sangat luas: seluruh konsekuensi hukum pidana yang melekat kepada penerima dihapuskan, dan status hukum mereka dipulihkan seolah tidak pernah melakukan pelanggaran hukum tersebut.
Jika Presiden memutuskan untuk mengeluarkan Keppres yang berisi pemberian amnesti dan abolisi terhadap keduanya, maka semua proses hukum yang sedang berjalan otomatis dihentikan.
Mereka yang sedang menjalani masa hukuman dapat langsung dibebaskan, dan catatan hukumnya bisa dianggap bersih kembali.
Namun hingga kini, Keppres terkait belum diterbitkan, sehingga proses hukum terhadap keduanya masih berjalan sesuai prosedur.
Demikian informasi tentang perbedaan abolisi dan amnesti.***