SERAYUNEWS— Saat naiknya Abdurrahman Wahid ke kursi presiden, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita akhirnya berganti dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Sekarang, namanya telah menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Apa bedanya perempuan dengan wanita? Meski merupakan sinonim kata, wanita dan perempuan ternyata memiliki makna yang jauh berbeda.
Melansir dari KBBI, kata wanita rupanya berasal dari bahasa Sansekerta. Berakar dari kata vanita, wanita memiliki arti yang diinginkan.
Hal tersebut seolah berkontribusi akan maraknya objektivitas seorang wanita. Sosok wanita seolah hanyalah objek yang laki-laki inginkan.
Makna wanita pun memiliki kata turunan, yakni kewanitaan. Dalam pergeseran maknanya, kewanitaan juga merujuk pada sifat wanita khas keraton.
Wanita harapannya dapat memiliki sifat yang lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, serta mendukung pria. Makna tersebut seolah menegaskan bahwa seorang wanita harus senantiasa menyenangkan pria.
Sedang perempuan, menurut KBBI, memiliki definisi sebagai orang (manusia) yang memiliki vagina dan biasanya dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan anak, atau menyusui.
Kata perempuan berasal dari bahasa Sansekerta, pu, yang berarti hormat. Ada juga yang berpendapat bahwa kata perempuan berasal dari bahasa Jawa Kuno, empu, yang berarti tuan, mulia, atau hormat.
Kemudian, kata mengalami afiksasi dengan penambahan imbuhan per dan an, hingga menjadi perempuan.
Dengan demikian jelas, jika wanita lebih merujuk pada peran atau kodrat budaya patriarki dimana laki-laki berkuasa. Sementara itu, perempuan merujuk pada jenis kelamin dan kodrat bukan buatan manusia (menstruasi, melahirkan menyusui).
Praktik penggunaan kata wanita pada masa Orde Baru tercermin dalam program-program dari Menteri Urusan Peranan Wanita seperti Dharma Wanita.
Lima pilar utama dari Dharma Wanita adalah wanita sebagai pendamping suami, sebagai ibu penerus keturunan, sebagai pengurus rumah tangga, sebagai pencari nafkah tambahan, dan sebagai anggota warga negara.
Organisasi ini mendorong konsep bahwa peran wanita yang memenuhi kodratnya, yang juga memunculkan konotasi bahwa wanita merupakan sosok penurut. Keanggotaannya juga bersifat eksklusif hanya terdiri dari istri-istri Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ada juga organisasi-organisasi istri lain seperti perkumpulan istri militer, Persit Kartika Chandra Kirana; atau istri dari figur profesional, Persatuan Istri Dokter Indonesia, Persatuan Istri Insinyur Indonesia, dan sebagainya.
Fenomena ini mendorong gagasan bahwa perempuan merupakan seorang pendamping dari sosok laki-laki. Dia menempatkan eksistensi, status, dan kehormatan perempuan pada bayangan identitas suami, ketimbang identitas perempuan itu sendiri.
Sebuah buku mendukung hal itu. Buku karya Susan Blackburn, Women and the State in Modern Indonesia mendeskripsikan status perempuan pada masa Orde Baru. Perempuan merupakan struktur grup di masyarakat yang perlu dibawa ke jalan yang benar, tidak melawan, dan pasif, agar sejalan dengan kebutuhan dan cita-cita pemerintah dalam pembangunan.
Jika merujuk secara tafsiran, makna dari kata perempuan memiliki konotasi yang lebih bagus. Namun, ini juga bukan berarti bahwa adanya larangan dalam penggunaan kata wanita.
Hanya saja, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata perempuan, terutama dalam menyoal soal pemberdayaan kedudukan, pembelaan hak asasi, maupun tentang nasib dan martabatnya.
Jika merujuk buku berjudul Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik karya Sudarwati dan D. Jupriono yang terbit tahun 1997, melihat bahwa kata perempuan bernilai sejajar dengan laki-laki jika dalam tinjauan secara etimologis.
Alasannya berlandaskan karena selain berasal dari kata empu yang berarti tuan, mahir, atau berkuasa, kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu yang artinya penyangga atau penyokong.
Selain itu, kata perempuan berakar erat dari kata empuan yang mengalami pemendekan menjadi puan, sapaan hormat pada perempuan.*** (O Gozali)