Purwokerto, serayunews.com
Menurut ketua Komisi C DPRD Jateng ini, tragedi 27 Juli merupakan peristiwa spesifik yang tak bisa terpisah dari perjalanan dan perkembangan demorasi di Indonesia. Termasuk juga untuk PDIP sebab pada 27 Juli menjadi tonggak perkembangan PDIP menjadi partai besar.
“Banyak pelajaran berharga dari peristiwa 27 Juli 1996. Antara lain bahwa bagaimanapun kekuasaan ada batasnya dan kekuasaan otoriter pasti akan tumbang. Saat Ibu Megawati mengumumkan bahwa beliau adalah ketua PDI secara de facto, bukan de jure. Hal ini menjadi pembuktian bahwa idealisme, militansi, dan kekuatan sipil mampu menumbangkan kekuasaan otoriter,” jelasnya.
Meskipun pada akhirnya, reformasi yang diidam-idamkan, saat ini tidak seindah yang dibayangkan. Masih banyak kesenjangan dan ketimpangan sosial. Demokrasi yang seharusnya berjalan paralel dengan kesejahteraan rakyat belum terwujud, sehingga akibatnya banyak bermunculan politik praktis dan transaksional.
“Kembali lagi, butuh militansi dan idealisme yang kuat untuk mewujudkan politik kekuasaan yang mampu menyejahterakan rakyat. Kita harus banyak belajar dari pelaku sejarah, pejuang-pejuang PDI Pro Mega pada saat itu,” tuturnya.
Sementar, anggota DPRD Banyumas, Agus Priyanggodo memberi pandangannya. Pada peristiwa 27 Juli, pengurus DPC PDIP Banyumas yang biasa disapa Nova ini mengatakan, ia masih menjadi satgas dan usianya baru 23 tahun. Ia turut mengawal kehadiran Megawati di Banyumas pasca terbentuknya PDI Pro Mega.
“PDIP merupakan partai yang sudah teruji. Sudah menjalani proses panjang, pernah merasakan tertindas, sulit bergerak. Sehingga sekarang setelah PDIP berkuasa, tidak akan melakukan penindasan, karena kami sudah mengalami kehidupan berpartai yang tidak mudah. Kami yang lebih awal menyerukan demokrasi, berteriak tentang kebebasan. Tanpa peristiwa 27 Juli, pendewasaan demokrasi kita tidak akan seperti sekarang ini,” ucap Nova.
Diskusi dengan moderator Jarot C Setyoko tersebut, juga menghadirkan saksi sejarah peristiwa 27 Juli, Adi Tarso. Tokoh senior PDIP Banyumas ini menyatakan, tanpa peristiwa 27 Juli, tanpa peristiwa penyerbuan kantor DPP di Jalan Diponegoro, belum tentu reformasi bisa bergulir seperti sekarang ini.
“Kekuasaan Presiden Soeharto pada waktu itu sangat luar biasa, sebagai panglima tertinggi. Ia menguasai dari logistik sampai loyalitas aparat. Namun rasa simpatik dari kalangan LSM, mahasiswa, aktivis dan rakyat kepada perjuangan Ibu Megawati mampu menumbangkan kekuasaan orba,” tegasnya.
Narasumber yang juga merupakan saksi sejarah dari kalangan mahasiswa pada waktu itu, Febrian Nugroho memberikan pandangannya. Ia mengatakan, sampai saat ini masih banyak para tokoh yang selalu menghadiri refleksi 27 Juli. Sebab, peristiwa 27 Juli bukan pergerakan skala kecil, tetapi merupakan pergerakan besar untuk mengubah situasi otoriter menjadi demokratis. Pergerakan oposisi yang tercerai-berai pada saat orba, menjadi terkonsolidasi utuh sejak 27 Juli.
“Gerakan pro demokrasi menjadi lebih terkonsentrasi, dengan Megawati menjadi simbol pergerakan tersebut,” ucapnya.