Cilacap, serayunews.com
Salah satu cerita tentang Cilacap dibeberkan oleh buku Sejarah Cilacap yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Cilacap pada tahun 1975. Salah satu yang mencuat dalam buku itu adalah sejarah masa lalu daerah Cilacap.
Konon, daerah pesisir kidul atau pantai selatan yang berada di dekat pulau Nusakambangan merupakan hutan belantara dan dipenuhi rawa-rawa dengan segala binatang buas di dalamnya tersebutlah wilayah itu dengan sebutan Keraton Siluman. Daerah itu juga disebut sebagai “Keraton Noesatembini.
Keraton ini mempunyai daerah yang amat luas dengan wilayah: membujur dari bagian timur ke barat memutar ke utara sepanjang pantai laut serta menghadap samudera Hindia yang saat ini wilayah keraton tersebut adalah pulau Nusakambangan. Alkisah di pulau inilah Keraton Noesatembini sebagai tempat bermukimnya kerajaan tersebut yang dipercayai bahwa keraton tersebut dikelilingi oleh tujuh lapis hutan bambu.
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang ratu yang bernama Brantarara sekitar abad ke V. Keraton yang dipagari dengan tujuh lapis hutan bambu ini sangat tidak memungkinkan untuk ditembus oleh musuh-musuhnya. Ratu ini konon mempunyai paras yang amat cantik, sehingga tidak sedikit para raja yang mendengar kecantikan serta kemolekannya ingin mempersunting sebagai permaisuri.
Akan tetapi keinginan untuk mempersunting ratu tersebut untuk menjadi permaisuri mengalami kegagalan karena sulitnya menembus keraton yang ditutupi oleh hutan bambu tersebut. Ratu ini juga mempunyai kesaktian yang luar biasa yang pada jamannya memerintah mempunyai seekor kuda yang disebut “kuda sembrani. Dengan segala kebijaksanaan serta kehalusan budi dalam memerintah maka Ratu Brantarara itu amat dicintai oleh segenap rakyatnya.
Menurut cerita rakyat setempat bahwa kerajaan ini letaknya dekat komplek dermaga pelabuhan Pasir- Besi dimana dua rumpun bambu “ori” yang masih ada sampai saat ini diyakini merupakan saksi-saksi bisu dari peninggalan benteng-benteng Keraton Nusatembini pada zaman pra sejarah Kabupaten Cilacap yang pada jamannya terkenal dengan sebutan “Balu Werti Pring Pitung Sap” (Benteng Bambu Lapis Tujuh).
Kompleks dekat pohon trembesi yang rindang itu dahulunya adalah pusat Keraton Nusatembini. Kekeramatan “keraton” itu oleh sementara orang dikaitkan dengan tambatan pertamina yang tidak dapat dihubungkan dengan dermaga lainnya dan dikenal dengan dermaga Buntung. Cerita sejarah kehancuran keraton Noesatembini ini berawal dari kedatangan para adipati atas suruhan Raja Galuh Pakuan Pajajaran untuk mendapatkan “air mata kuda sembrani” yang akan diperuntukkan guna mengobati putri raja yang saat itu sedang menderita wabah penyakit yang melanda seluruh kerajaan Pajajaran. Konon menurut seorang pintar bahwa wabah tersebut bisa disembuhkan dengan mendapatkan Air Mata Kuda Sembrani yang ada di keraton Noesatembini.
Sang Raja pun mengutus Patih Harya Tilandanu yang dibantu oleh Adipati Gobog dan Adipati Sendang dengan diikuti oleh beberapa Prajurit pilihan. Rombongan utusan Pajajaran itu sudah bertekad bulat melaksanakan tugasnya menghadap Sang Ratu untuk meminta apa yang disebut “Air Mata Kuda Sembrani” untuk mengobati puteri raja dan segenap kawula yang menderita sakit di kraton Pajajaran. Perjalanan menuju ke daerah Noesatembini ternyata tidak mudah, perjalanan itu harus melewati hutan belantara, serta rawa-rawa yang luas. Karena sulitnya menembus keraton tersebut maka para utusan raja bersemedi untuk mendapatkan wangsit guna dapat menembus keraton Noesatembini tersebut. Akhirnya mereka mendapatkan bisikan agar mereka membuat peluru-peluru emas.
Para utusan memilih satu tempat untuk mengerjakan dan membuat peluru-peluru emas tersebut sebagai alat penghancur pagar bambu tersebut yang letaknya tidak jauh dari keraton Noesatembini. Mereka menumpang (andon dalam bahasa Jawa) di satu daerah selama beberapa hari serta melakukan persiapan terakhir guna mengadakan serangan yang akhirnya nama daerah ini disebut “Donan” tempat untuk “Andon. Dengan peluru-peluru emas tersebut akhirnya prajurit Parahyangan bisa menembus pagar bambu karena peluru emas yang ditembakkan tersebut menarik minat masyarakat Noesatembini.
Namun karena kesaktian Ratu Noesatembini para utusan raja dan prajurit-prajuritnya yang dapat masuk ke dalam keraton Noesatembini tidak dapat menangkap sang ratu dan gagal mendapat “air mata kuda sembrani”. Karena kegagalan tersebut para utusan raja Pajajaran ini pun tidak berani kembali ke Pajajaran hingga akhirnya mereka menetap dan wafat di derah ini. Sebagaimana makam yang hingga kini oleh sebagian masyarakat dikeramatkan yang berada di wilayah desa Tembak Reja Kecamatan Cilacap. Makam Adipati “Gobog” salah seorang dari utusan Raja Pejajaran ketika mencari air mata kuda sembrani milik Ratu Noesatembini.
Konon karena utusan raja Pajajaran tak kunjung tiba dan beritanya pun tidak sampai, raja pun mengutus kembali adipatinya yaitu Adipati Pusar untuk menuju keraton Noesatembini. Namun betapa terkejutnya Adipati Gusar karena keraton yang konon ceritanya megah dan mewah tersebut ternyata sesampai di sana adipati Gusar hanya menemukan hutan belantara dan benteng-benteng yang terbuat dari bambu berlapis tujuh tersebut pun tinggal hanya tonggak-tonggaknya belaka. Namun Adipati Gusar juga tidak berani kembali ke Pajajaran akhirnya dia menetap hingga akhir hayatnya. Setelah ia meninggal dunia Adipati Pusar dimakamkan disebuah tempat yang sekarang disebut Karangsuci.
Letak makam Adipati Pusar Di Karangsuci dekat dengan Adipati Denggung. Adapun letak keraton Noesatembini menurut perkiraan arahnya sekarang ini di kompleks Pelabuhan Cilacap, tepi sebelah timur Bengawan Donan tidak jauh dari dermaga Pertamina, dengan dermaga tambatan I pelabuhan Cilacap I yang menurut sementara orang ditempat tersebut terdapat ruang antara dua dermaga yang konon katanya tidak disatukan dengan dermaga yang ada sekarang. Setiap usaha untuk menutup tempat tersebut dan dijadikan dermaga selalu gagal. Menurut kepercayaan sebagian orang tempat tersebut sangat “wingit” karena menurut cerita ditempat itulah bekas “Mahligai Keraton Noesatembini” dan saat ini tempat ini disebut dermaga Buntung.
Dengan berakhirnya keraton Noesatembini akibat dari serangan utusan raja Pajajaran yang mencari obat air mata kuda sembrani” menjadikan daerah ini terbuka bagi masyarakat luar. (*)