SERAYUNEWS – Polemik terkait besaran tunjangan yang diterima para anggota DPRD masih terus bergulir. Di Kabupaten Banyumas, beberapa organisasi mahasiswa tengah membangun kekuatan untuk menyatukan suara. Mereka berkomitmen menuntut transparansi atas berbagai tunjangan yang diterima oleh wakil rakyat.
Konsolidasi dilakukan oleh organisasi seperti HMI, PMII, GMNI, IMM, GMKI, dan KAMMI. Salah satu alasan utama gerakan ini adalah ketidakrasionalan besaran tunjangan serta kurangnya transparansi kepada masyarakat. Terlebih, kondisi ekonomi masyarakat saat ini masih dirasakan sulit.
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwokerto, Ahmad Fikri, menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan konsolidasi dengan organisasi mahasiswa lain di Banyumas sebagai respons terhadap isu ini.
“Ini adalah bentuk keresahan rakyat, atas kenaikan tunjangan anggota dewan di saat ekonomi masyarakat sedang sulit,” kata Fikri, Jumat (19/9/2025) petang.
Aspirasi yang disuarakan bukan tanpa dasar. Mereka telah melakukan kajian internal yang diperkuat oleh diskusi di masing-masing organisasi mahasiswa.
“Nantinya, seluruh poin akan dirumuskan menjadi satu kesatuan tuntutan yang akan disuarakan bersama,” ujarnya.
Dari internal HMI, terdapat lima poin tuntutan utama:
1. Menolak secara tegas kenaikan tunjangan DPRD yang tidak berpihak kepada rakyat.
2. Menuntut transparansi anggaran DPR/DPRD agar publik mengetahui penggunaan dana negara.
3. Meminta DPR dan pemerintah memprioritaskan anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan elite.
4. Menolak kebijakan elitis yang hanya menguntungkan pejabat dan menekan rakyat kecil.
5. Mengajak elemen masyarakat Banyumas untuk bersama-sama mengawal dan menolak kebijakan yang tidak pro-rakyat.
“Mahasiswa akan terus berdiri di garda terdepan sebagai pengawal konstitusi dan suara rakyat tertindas,” kata Fikri.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua GMNI Cabang Banyumas, Rafi Aditia Pangestu. Ia menyebut bahwa pihaknya tengah menyusun draft tuntutan yang rencananya akan disampaikan dalam audiensi resmi dengan Bupati Banyumas.
“Kita track kekecewaan publik terhadap dewan. Isu tunjangan ini sudah lama dan angkanya cukup besar. Mumpung momen sedang tepat, ya kita kritisi saja,” ujar Aditia.
GMNI juga menelaah aspek keadilan dan kewajaran nominal tunjangan tersebut, serta mengevaluasi apakah kebijakan itu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan fiskal daerah.
Tak hanya mahasiswa, kalangan akademisi juga ikut memberikan suara. Pakar Kebijakan Publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Dr. Slamet Rosyadi, menyoroti pentingnya transparansi dalam penetapan tunjangan yang dinilai sangat besar untuk ukuran daerah seperti Banyumas.
“Pemerintah daerah itu harus transparan menyampaikan kepada publik, dari mana formula itu berasal, kenapa tiba-tiba muncul angka seperti itu,” katanya.
Sebagai informasi, tunjangan perumahan pimpinan DPRD Banyumas tercatat mencapai Rp42 juta per bulan.
Menurut Prof. Slamet, besaran tersebut sangat besar dan tanpa penjelasan terbuka kepada publik, dapat menimbulkan persepsi negatif.
“Kalau tidak diinformasikan secara lengkap mengenai peruntukannya, angka tersebut bisa dianggap tidak patut untuk standar biaya hidup di Banyumas. Mau tinggal dimana, di perumahan mewah atau seperti apa?” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pejabat publik seharusnya hidup sederhana dan menjadi teladan, bukan membangun citra kemewahan yang menjauhkan diri dari rakyat.
Mengenai Peraturan Bupati (Perbup) Banyumas Nomor 9 Tahun 2024 yang ditetapkan April lalu namun berlaku surut sejak Januari 2024, ia menjelaskan bahwa hal tersebut sah secara hukum selama didasarkan pada regulasi yang jelas.
“Bisa saja pemerintah membuat regulasi seperti itu untuk memberikan kepastian hukum atas pengeluaran yang akan dilakukan oleh Pemda,” kata dia