Merawat dan menjaga umat yang berjumlah besar, bukan perkara yang mudah. Dalam konteks umat sebagai jamaah, yang cenderung homogen, jumlah dan wilayah terbatas, magis dan kewibawaan Kyai mungkin dapat mengatasi beberapa problem umat.
Tapi dalam konteks jam’iyyah yang besar, heterogen, wilayah yang luas, tentu perlu pengendalian, aturan, berupa administrasi dan organisasi yang teratur.
Kebijakan organisasi, bisa dilakukan lewat jalur resmi, seperti rapat, raker, konferensi, atau bahkan muktamar.
Tapi pembinaan jamaah bisa dilakukan lewat kegiatan pengkaderan dan juga dakwah.
Dakwah tentu mempunyai nilai tersendiri dalam membina jamaah dan juga jam’iyyah. Pembinaan umat yang heterogen melalui dakwah, sangat membantu tugas-tugas organisasi dalam memperkuat jam’iyyah. Di NU sendiri ada badan otonom yang khusus mewadahi para da’i, yang di sebut, LDNU.
Namun tentu tidak semua juru dakwah dapat dan mau diakomodir dalam LDNU. Sebagian besar berjalan sendiri, dengan caranya sendiri di dalam berdakwah. Tapi jam’iyyah tentu mempunyai garis besar jebijakan dan strategi, agar para da’i, walau tak bergabung dalam LDNU, tapi bisa berafiliasi secara kultural ke NU, manhajnya NU, menyebarkan nilai2 ke NU-an, dan dengan cara2 yang diajarkan oleh para kyai. Sebab, ini bagian dari merawat dan menjaga umat. Kalau menyimpang dari manhaj NU dalam dakwah, tentu itu merugikan jam’iyyah. Secara otomatis, NU berwenang mengambil tindakan tegas.
Nah, cara dan gaya berdakwah cara NU bermacam-macam, sesuai dengan karakteristik dan value sistem warga NU. Kalau dakwah dilihat bagian dari ilmu dan teori komunikasi, maka dakwah itu agar lebih efektif, yaitu harus berorientasi kepada umat, bukan kehendak si juru dakwah. Pakar komunikasi klasik, Harold D Lawwsel, membuat formula yang bagus terhadap komunikasi. Ia mengatakan, know your audiens. Ketahuilah siapa audiensmu.
Maka beragamnya gaya dan cara komunikasi dakwah atau dakwah komunikasi para da’i NU, tak lepas dari perspektif ini. Beragamnya umat, perlu didekati dengan cara dakwah yang beragam, walau masing-masing bersifat parsial. Termasuk dalam pilihan konten dakwah, dan media yang dipilih.
Ada cara-cara yang ilmiah, melalui seminar, diskusi, basaul mastail, webinar, dsbnya.
Ada juga yang aktif di medsos, twitter, facebook,wa,instastory, dsbnya.
Tapi yang paling favorit bagi warga NU, adalah dengan media pengajian, imtikhanan, khaul, dan lain sebagainya.
Namun juga terdapat formula media, yaitu menggabungkan beberapa media dalam menyampaikan dakwah. Misal pengajian umum, kemudian dishare melalui berbagai jenis medsos.
Tentu saat ini figur-figur kyai dan juru dakwah yang favorit adalah Gus Baha, Gus Muafiq, Gus Miftah,sampai figur Ustadzah Mumpuni Handaya Yekti.
Yang berada di panggung ilmiah, tentu ada figur Nadirsyah Husen, Yayang Utriza Farzah, Prof. Sumanto al Qurtubi, Ahmad Sahal, dll.
Genre dakwah yang lain, melalui seni sholawat, seperti Habib Sech, Gus Gondrong, Veve Zulfikar, Sabyan Gambus, Haddad Alwi, bahkan sampai Opick tombo ati, Cak Nun dengan Kyai Kanjeng, Sastrow al Ngatawi dengan ki Ageng Ganjur, dan lain-lain.Seluruhnya atau sebagian besar diadopsi dari cara-cara dakwah walisongo yang mengedepankan nilai hikmah dan kebaikkan.
Semua berdasarkan umat, tuntutan dan kebutuhan konten dan cara dakwah yang beragam. Tidak ada yang lebih pas dari yang lain, semua bisa saling menggantikan dan melengkapi. Itulah cara NU menjaga dan merawat umat, dan tak ketinggalan, tentu negara. Semua by design para ulama, yang pandai mengkomunikasikan ajaran agama dalam dakwah.
Penulis Toufik Imtikhani