SERAYUNEWS – Dulu barbie banyak jadi kontroversi, sekarang justru di-rayakan? Live action karya sutradara Greta Gerwig akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik yang hangat.
Selama ini, Barbie masyarakat anggap sebagai sosok yang kontroversial dari kacamata feminisme.
Di lain sisi, Barbie juga merupakan ikon pemberdayaan perempuan karena memproyeksikan berbagai ragam profesi yang bisa perempuan emban.
Barbie di-buat oleh Ruth Handler, salah satu pendiri Mattel pada 9 Maret 1959. Barbie di-buat oleh Ruth karena terinspirasi dari nama putrinya, Barbara.
Ruth membuat Barbie pertama dengan bentuk perempuan yang hanya menggunakan baju renang dengan garis hitam putih, dengan sepatu hak hitam kecil, kacamata hitam, dan anting melingkar.
Perjuangan Ruth menciptakan Barbie tentu tidak mudah. Ia harus menghadapi berkali-kali penolakan oleh Tim Mattel karena masalah biaya produksi.
Namun, kehadiran Barbie kala itu di-anggap sebagai pembawa perubahan bagi pasar mainan.
Pasalnya, Barbie melahirkan boneka perempuan dewasa yang memberikan gambaran bagi peran gender.
Hingga pada tahun pertama, sekitar 350.000 Barbie laris terjual. Barbie di-anggap menarik karena dalam praktiknya mewakili kehidupan tokoh gadis “dewasa”, sehingga menciptakan imajinasi anak-anak terhadap kehidupan dewasa itu sendiri.
Selain itu, bagi orang tua, Barbie di-anggap memiliki harga yang murah, hanya sebesar $3 atau setara dengan Rp45 ribu. Hal tersebutlah yang membuat Barbie laris manis.
Perjalanan Ruth dalam menciptakan Barbie tidak semulus itu, karena Barbie sempat menimbulkan berbagai kontroversi.
Mulai dari di-nilai terlalu seksi, mempromosikan citra tubuh yang tidak realistis (berambut pirang, memiliki mata biru, dan bertubuh langsing), kehidupan yang hedon karena serba mewah, hingga edisi Barbie Slumber Party dan buku soal dietnya yang berinstruksikan “JANGAN MAKAN!”.
Menghadapi kontroversi dan tren global tersebut, Mattel mengeluarkan inovasi Barbie lain, seperti Barbie astronot, Barbie berkulit hitam pertama (Christie), Barbie yang pakai kursi roda (Becky), dll.
Hal itu dengan tujuan untuk mengkampanyekan pemberdayaan dan mendorong perempuan untuk hidup merdeka dan mengejar impiannya.
Stereotip Barbie memiliki kehidupan serba “sempurna” yang sudah cukup lama membuat Barbie stereotipikal yang tetap populer, pun dengan hadirnya boneka Bratz dan Disney Princess, Barbie sempat di titik terendah, hingga penjulannya turun 20% dari tahun 2012 hingga 2014.
Menghadapi hal tersebut, pihak Mattel memutuskan untuk mengubah stereotip tentang Barbie.
Pada tahun 2020, Barbie diciptakan dengan 35 warna kulit, gaya rambut yang berbeda-beda.
Berbagai Barbie dengan down syndrome, Barbie yang pakai hijab, hingga Barbie yang memegang berbagai profesi hingga menjadi tokoh inspiratif.
Namun, proses penerimaan atau normalisasi Barbie dengan tubuh realistis tidak semudah itu di-terima oleh masyarakat, karena proses internalisasi Barbie dengan kehidupan “sempurna” atau Barbie stereotipikal sudah ada sejak lama.
Isu-isu Barbie juga muncul dalam film Barbie oleh Greta Gerwig dan melahirkan berbagai otokritik.
Otokritik antara lain seperti paham sosial feminisme, patriarki, matriarki, maskulinitas toksik, hingga standar kecantikan.
Film itu membawa kembali percakapan Barbie dan posisinya dalam gerakan feminisme atau soal konstruksi gender melalui Ken yang karakteristiknya sekadar jadi gandengan Barbie.
Dari hal tersebut, bisa di-katakan bahwa Barbie tetap bagian dari perusahaan jutaan dollar yang selalu berupaya untuk terus relevan di tengah gelombang keempat feminisme.
Barbie versi Gerwig dengan sentuhan feminisme bisa disebut sebagai cara Mattel untuk terus mengikuti dinamika perkembangan zaman.***(Salsabilla Silky)