SERAYUNEWS – Paska putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas Kaju Gae, publik dikejutkan dengan munculnya sebuah petisi penolakan pemecatan di platform change.org.
Petisi ini dengan cepat menyedot perhatian, karena hanya dalam hitungan hari sudah ditandatangani ratusan ribu orang.
Pertanyaan pun muncul, siapa sosok di balik petisi yang kini menjadi perbincangan nasional itu?
Kepada Yth.
“Kapolri
Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri
Pimpinan DPR RI
Masyarakat luas yang peduli pada keadilan
Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini adalah keluarga besar, masyarakat Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, serta sahabat dan rakyat kecil yang mencintai keadilan. Kami menyatakan sikap menolak keputusan pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Kosmas Kaju Gae.
Kompol Kosmas adalah putra Laja – Ngada, sosok yang sejak muda telah mendedikasikan hidupnya untuk bangsa. Beliau telah mengabdi di kepolisian dengan keberanian dan tanggung jawab. Bahkan, pada saat demonstrasi besar di Jakarta, beliau berada di garda terdepan untuk menyelamatkan banyak orang, termasuk pejabat negara. Bagi kami, beliau adalah pahlawan yang mengharumkan nama daerah dan keluarga besar.
Kami tidak menutup mata bahwa ada peristiwa yang kini menjadi sorotan publik. Namun, kami meyakini bahwa hukuman pemecatan adalah sanksi yang terlalu berat dan tidak sebanding dengan seluruh pengabdian yang telah beliau berikan. Masih ada bentuk sanksi lain yang lebih manusiawi, lebih proporsional, tanpa harus meruntuhkan karier dan nama baik seorang putra daerah yang sudah puluhan tahun mengabdi.
Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, kami memohon kepada Kapolri dan KKEP untuk:
Meninjau kembali keputusan pemecatan Kompol Kosmas Kaju Gae.
Memberikan sanksi yang lebih adil dan seimbang, yang tetap memberi ruang untuk rehabilitasi nama baik beliau.
Mendengar suara hati masyarakat kecil dari Laja, Ngada, Flores, yang merasa sangat kehilangan.
Kami percaya Tuhan Maha Adil dan suara rakyat pun patut didengar. Dari Ngada, dari Flores, doa-doa dan tanda tangan kami menjadi saksi bahwa Kompol Kosmas Kaju Gae tetaplah kebanggaan kami, tetaplah pahlawan kami.
Hormat kami,
Masyarakat Ngada – Flores – NTT dan para pendukung keadilan.
Petisi berjudul “Penolakan Pemecatan Kompol Kosmas Kaju Gae” dibuat pada 3 September 2025, sehari setelah sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) memutuskan sanksi PTDH.
Dalam petisi tersebut, ribuan tanda tangan muncul sebagai bentuk solidaritas dan penolakan terhadap putusan pemecatan.
Hingga 5 September 2025, jumlahnya sudah menembus lebih dari 160 ribu tanda tangan.
Isi petisi menekankan bahwa sanksi pemecatan dinilai terlalu berat, tidak sebanding dengan pengabdian panjang Kompol Cosmas di institusi kepolisian.
Dukungan yang terus mengalir itu memperlihatkan betapa kasus ini menyentuh sisi emosional banyak orang, terutama masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Penggagas petisi tersebut adalah Mercy Jasinta, seorang warga asal Bajawa, Kabupaten Ngada, NTT.
Nama Mercy kemudian menjadi sorotan publik karena keberaniannya menyuarakan aspirasi lewat jalur digital.
Mercy bukan sosok sembarangan. Ia adalah dosen di Politeknik St. Wilhelmus Boawae, Kabupaten Nagekeo.
Dari akun media sosial pribadinya, diketahui Mercy merupakan lulusan Pascasarjana Universitas Merdeka Malang. Selain sebagai akademisi, ia juga dikenal aktif dalam isu-isu sosial.
Dalam keterangannya, Mercy mengaku petisi itu lahir dari keprihatinannya terhadap putusan PTDH. Ia menilai keputusan tersebut tidak adil.
“Sebagai pendidik, saya merasa terpanggil menyuarakan nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan,” ujar Mercy.
Nama Kompol Cosmas mencuat setelah insiden tragis pada 28 Agustus 2025 di kawasan Pejompongan, Jakarta.
Saat itu, sebuah kendaraan taktis (rantis) Brimob yang ditumpanginya melindas pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan (21) hingga tewas.
Cosmas kala itu duduk di kursi depan, di samping sopir Bripka Rohmat. Insiden tersebut terekam kamera dan viral di media sosial.
Kasus ini pun langsung ditangani Divisi Propam Polri, dengan menghadirkan pengawas eksternal dari Kompolnas.
Hasil sidang KKEP di Mabes Polri, Rabu (3/9/2025), menyatakan Cosmas bersalah karena dianggap tidak profesional dalam penanganan aksi massa.
Ia pun dijatuhi sanksi administratif berupa pemecatan dengan tidak hormat. Dalam sidang, Cosmas sempat menitikkan air mata.
Ia mengaku tidak menyadari kendaraan yang ditumpanginya melindas korban.
Ia juga menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban, Kapolri, serta institusi Polri.
Kehadiran Mercy Jasinta sebagai penggagas petisi menjadi contoh nyata bagaimana seorang akademisi daerah berani tampil ke depan menyuarakan keadilan.
Meski bukan tokoh politik, ia berhasil menggerakkan massa secara digital, menunjukkan bahwa aspirasi bisa datang dari siapa saja.
Dari kampus kecil di Nagekeo, Mercy menyalurkan suaranya untuk melawan apa yang menurutnya tidak adil.
Baginya, jalur petisi adalah cara damai untuk memastikan suara masyarakat kecil tetap terdengar di tengah hiruk pikuk kasus nasional.***