SERAYUNEWS – Sindrom Stockholm terjadi dalam banyak kasus di perpolitikan Indonesia. Yang terbaru dan paling heboh adalah dukungan Budiman Sudjatmiko terhadap Prabowo Subianto.
Secara terang-terangan Budiman, kader PDIP, menyeberang ke kubu Prabowo dan mendeklarasikan gerakan relawan Prabu alias Prabowo Subianto dan Budiman Sudjatmiko.
Fenomena ini unik karena publik tahu relasi kuasa antara Prabowo dan Budiman. Dulu, ketika muncul gerakan reformasi menentang rezim Soeharto pada 1998, Budiman menjadi salah satu aktivis yang menonjol.
Bersama sekelompok anak muda lainnya Budiman mendirikan Partai Rakyat Demokratik yang berhaluan kiri. Budiman dan kawan-kawan melakukan unjuk rasa membela buruh Marsinah di Surabaya dan ditangkap oleh aparat.
Pada puncak gerakan reformasi 1998 Budiman menjadi korban penculikan. Belasan aktivis ditangkap, sebagian dihilangkan secara paksa dan sampai sekarang tidak diketahui rimbanya. Di antara nama-nama yang hilang ada penyair Widji Thukul, Herman Hendrawan, Bima Petrus, dan Suyat. Sampai sekarang tidak diketahui nasibnya dan tidak ketahuan di mana kuburnya.
Pasukan death squad yang dicurigai melakukan penculikan adalah Tim Mawar yang dibentuk oleh Prabowo Subianto yang ketika itu menjadi panglima Kopassus dan berstatus sebagai menantu Soeharto. Sebuah dokumen pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Prabowo berperan dalam penculikan itu.
Arsip tertanggal 7 Mei 1998 ini mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang menghilang. Catatan itu memuat bahwa para aktivis yang menghilang boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.
Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto. Narasumber tersebut mengaku mendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkan bahwa terjadi konflik di antara divisi Kopassus bahwa Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.
Berbagai kisah mengenai penyiksaan dan penyekapan yang menyeramkan dituangkap dalam film dokumenter maupun buku fiksi dan non-fiksi. Salah satu buku fiksi yang membuat detail perburuan, penangkapan, penyekapan, serta penyiksaan ditulis oleh Leila S. Chudori dalam novel ‘’Laut Bercerita’’.
Novel itu berkisah mengenai aktivis bernama Laut Biru yang ditangkap dan disiksa secara kejam, kemudian dihilangkan dengan cara dimasukkan dalam drum yang dicor dan ditenggelamkan di laut.
Budiman Sudjatmiko ialah salah satu korban penculikan yang beruntung karena dibebaskan. Korban penculikan lain yang juga selamat adalah Nezar Patria dan almarhum Desmon Junaedi Mahesa. Tiga orang itu menjadi elite politik yang berada pada lingkar kekuasaan. Ketiga-tiganya bisa menjadi contoh kasus bagaimana Sindrom Stokcholm menjadi fenomena yang unik di Indonesia.
Terminologi Sindrom Stockholm muncul di Swedia ketika pada 1973. Ketika itu dua pria Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson memasuki bank dengan membawa senapan otomatis dan berteriak dalam bahasa Inggris “Get down, the party begins’’, tiarap, pesta dimulai. Dua perampok itu terlihat teler oleh obat bius.
Dua perampok itu menyandera empat pegawai bank, tiga perempuan satu laki-laki, selama enam hari. Drama penyanderaan itu menjadi viral internasional karena diliput live selama 24 jam oleh televisi nasional dan internasional. Para perampok memberi kesempatan kepada sandera untuk berbicara melalui telepon kepada kerabatnya. Bahkan seorang sandera diberi kesempatan berbicara dengan Perdana Menteri Olaf Palme. Dalam wawancara itu sandera wanita mengatakan bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para perampok. Ia mengatakan lebih khawatir nyawanya melayang oleh serbuan polisi ketimbang oleh perampok.
Akhirnya polisi menyerbu dengan melempar gas air mata dan berhasil menyelamatkan semua sandera. Dalam persidangan keempat mantan sandera mengakui diperlakukan dengan baik oleh perampok, dan mereka menolak menjadi saksi yang memberatkan.
Bahkan, keempat mantan sandera itu menyatakan simpati kepada penyanderanya. Setelah selesai menjalani masa hukuman salah satu perampok bahkan dikabarkan menjalin hubungan cinta dengan salah satu mantan sandera.
Budiman Sudjatmiko bisa menjadi contoh bagaimana Sindrom Stockholm menjadi fenomena di lanskap politik Indonesia. Ia menjadi korban penculikan dan penyiksaan yang biadab, tetapi sekarang bisa duduk bersama dan tertawa-tawa dengan Prabowo Subianto. Bahkan, Budiman menyiramkan banyak puja dan puji kepada Prabowo.
Kasus Stockholm Sindrom dialami oleh Desmon Mahesa. Ia salah satu korban penculikan yang kemudian secara instan menjadi salah satu orang dekat dan orang kepercayaan Prabowo. Desmon menjadi salah satu pendiri Partai Gerindra yang dipandegani Prabowo, dan terakhir sebelum meninggal Desmon menjadi anggota DPR dari Partai Gerindra.
Sindrom Stockholm yang agak berbeda dialami oleh Nezar Patria, mantan wartawan Tempo yang sekarang menjadi wakil menteri kominfo. Ia korban penculikan yang selamat. Kisah tragedinya tertuang dalam novel “Laut Bercerita’’ sebagai salah satu aktor utama. Nezar menuliskan tragedinya di Majalah Tempo 2008 berjudul “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru’’. Kisah yang diungkapkannya sangat mirip dengan cerita dalam novel “Laut Bercerita’’.
Ia mengalami trauma panjang setelah dibebaskan. Sekarang dia menikmati posisi sebagai anggota kabinet Jokowi bersama-sama Prabowo Subianto. Mungkin Nezar tidak mendukung Prabowo secara terbuka seperti Budiman Sudjatmiko. Tetapi Nezar sudah berada pada gerbong yang sama dengan Prabowo, dan sangat mungkin berada pada satu barisan pada Pilpres 2024.
Ketika masih menjadi aktivis mahasiswa Nezar menjabat sebagai sekjen SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia) yang diketuai oleh Andi Arief. Andi juga menjadi korban penculikan yang kemudian dibebaskan. Andi pernah menjadi komisaris PT Pos Indonesia, tetapi sekarang berseberangan jalan dengan Nezar, karena Andi mendukung Partai Demokrat yang beroposisi.
Politik adalah the art of possibility, tidak ada yang mustahil dalam politik. Tidak ada yang kebetulan dalam politik.
Di alenia terakhir kolomnya di Majalah Tempo Nezar Patria menulis: Pada 1999, majalah Tempo mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasanny: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro.
Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto? Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali.
Alenia itu tidak menyebut dosa Prabowo dalam penculikan. Apakah Nezar sudah memaafkan Prabowo? Entahlah.*** (Dhimam Abror Djuraid)