SERAYUNEWS – Izin penyelenggaraan Salat Idul Fitri 1446 H atau Salat Id di Lapangan Akrab Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, sempat ditolak oleh pemerintah desa setempat.
Hal ini menjadi perbincangan publik dan viral di media sosial dalam beberapa hari terakhir.
Alasannya, kapasitas masjid-masjid di Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, dinilai masih mampu menampung jamaah untuk Salat Id.
Selain itu, keputusan ini juga diambil untuk menjaga kondusivitas lingkungan.
Lalu bagaimana pandangan Muhammadiyah terkait Salat Id di tempat lapang?
Melansir laman resmi Muhammadiyah, Salat Id di lapangan atau tanah lapang yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah bukan sekadar persoalan kapasitas masjid.
Tradisi ini memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam dan sejarah panjang dalam perjalanan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan.
Sudah sekitar 101 tahun silam, warga Muhammadiyah menjalankan tradisi ini.
Salah satu alasan utama Muhammadiyah menyelenggarakan Salat Id di lapangan adalah mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ … [رواه البخاري]
“Diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri bahwa ia berkata: Nabi Muhammad SAW selalu keluar pada hari Idul Fitri dan hari Idul Adha menuju lapangan, lalu hal pertama yang ia lakukan adalah salat…” (HR. Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa salat di tanah lapang adalah kebiasaan Rasulullah SAW, bukan semata-mata karena keterbatasan kapasitas masjid.
Hal inilah yang menjadi dasar ijtihad Muhammadiyah dalam melestarikan praktik ini.
Salat Id di lapangan sudah menjadi tradisi Muhammadiyah sejak 1924.
Sejarawan dan anggota Majelis Pustaka Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah yang memiliki dasar yang kuat.
Pada saat itu, masjid-masjid yang ada sebenarnya masih cukup untuk menampung jamaah Salat Id.
Namun, Muhammadiyah memilih lapangan sebagai lokasi pelaksanaan karena mempertimbangkan dalil yang sesuai dan semangat meneladani sunnah Rasulullah.
Kepeloporan Muhammadiyah dalam penyelenggaraan Salat Id di lapangan kemudian dikukuhkan dalam Muktamar ke-15 tahun 1926 di Surabaya.
Sejak saat itu, Muhammadiyah secara resmi menetapkan pelaksanaan Salat Id di tanah lapang sebagai bagian dari identitas organisasinya.
Pada tahun 1924, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh KH. Ibrahim bin KH. Fadlil Rachmaningrat.
Beliau adalah ulama berpengetahuan luas, seorang hafiz Al-Qur’an, serta ahli qira’ah dan bahasa Arab.
Pemikirannya yang maju dan pemahamannya yang mendalam terhadap ajaran Islam menjadi salah satu faktor utama dalam keputusan Muhammadiyah untuk melaksanakan Salat Id di lapangan.
KH. Ibrahim juga dikenal sebagai sosok yang tegas dalam memegang prinsip agama.
Pidato pembukaannya dalam Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada 1939, yang disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih, menunjukkan kapabilitasnya sebagai ulama besar.
Sejak awal, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Namun, pada tahun 1920-1925, muncul berbagai ideologi baru di Indonesia, seperti nasionalisme, komunisme, serta berbagai gerakan Islam dengan corak fikih tersendiri.
Perubahan situasi ini mendorong Muhammadiyah untuk lebih memperhatikan aspek fikih dan ibadah.
Sensitivitas Muhammadiyah terhadap persoalan keagamaan meningkat, terutama dalam merespons perkembangan ideologi lain, termasuk Kristenisasi dan polemik dengan Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Pada 1927, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih sebagai wadah untuk membahas masalah peribadatan dan fikih.
Keputusan-keputusan keagamaan, termasuk pelaksanaan Salat Id di lapangan, mulai diformalkan sebagai bagian dari praktik ibadah warga Muhammadiyah.
Salat Id di lapangan yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukan sekadar pilihan teknis, melainkan sebuah keputusan berbasis dalil syar’i dan sejarah panjang.
Muhammadiyah bukan hanya sekadar ormas keagamaan yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan, tetapi juga memiliki kontribusi besar dalam pemurnian ajaran Islam melalui ijtihad yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan mempertahankan tradisi ini, Muhammadiyah tidak hanya meneladani Rasulullah SAW, tetapi juga memperkuat identitasnya sebagai organisasi Islam yang konsisten dalam menjalankan ajaran agama secara autentik dan berdasar.***