SERAYUNEWS – Politik uang, selalu jadi perbincangan hangat saat Pemilu. Meskipun hal tersebut merupakan tindakan yang keliru, tapi terjadi secara berulang di setiap masa kampanye.
Kondisi ini terjadi, karena adanya gayung bersambut antara peserta sebagai pemberi dan masyarakat sebagai penerima.
“Lingkaran setan ini terjadi, karena adanya gayung bersambut,” kata Pengamat Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Ahmad Sabiq.
Hal itu dia sampaikan, saat mengisi materi Fasilitasi Pelatihan Saksi Pemilu Bawaslu Banyumas, Rabu (20/12/2023).
Menurutnya, para peserta Pemilu memiliki ambisi untuk mendapat suara banyak dan menang. Meskipun sebenarnya secara elektabilitasnya tinggi, banyak kontestan yang tetap tidak percaya pada diri sendiri.
Menurut Sabiq, faktor itu yang membuat kontestan tetap melakukan praktik politik uang. Sedangkan masyarakat sebagai penerima, menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
“Ada sifat permisif dari masyarakat,” kata dia.
Sabiq menceritakan, seorang akademisi bernama Prof Burhan pernah melakukan riset soal ini. Hasilnya, sekitar 35 persen koresponden menerima dan menganggap hal lumrah adanya praktik tersebut.
Bahkan, dari kalangan tokoh agama, juga menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa saja. Ada koresponden dari anggota legislatif yang berani bertaruh, mereka bisa jadi anggota legislatif karena melakukan hal tersebut.
Padahal mereka memahami, praktik politik uang itu dari sisi aturan sudah melanggar bahkan suatu tindakan kejahatan. Sedangkan dari sisi etika, hal itu menjadi hal yang sangat tidak etis atau sebagai sesuatu yang nista.
“Menistakan politik uang, itu menjadi salah satu cara untuk menghentikan. Paling penting adalah edukasi kepada masyarakat, tanamkan pikiran yang menganggap politik uang itu hal yang nista atau aib,” katanya.