SERAYUNEWS– Rektor Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Profesor Ridwan berpandangan berbeda dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang umat Islam mengucapkan salam lintas agama.
Fatwa MUI hasil putusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII terkait larangan salam lintas agama itu mengundang kontroversi, sekaligus perhatian banyak kalangan. Profesor Ridwan menilai salam lintas agama justru menguatkan toleransi dan moderasi beragama.
“Esensi sapaan salam adalah doa dan harapan, agar keselamatan dan kedamaian untuk semua mahluk Tuhan. Pesan keselamatan dan kedamaian hidup, merupakan esensi dari misi Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamiin,” ungkapnya, Senin (3/6/2024).
Dia menjelaskan, perspektif hukum haram terhadap salam lintas agama merupakan pandangan yang legalistik-partikular. Selain itu, hal yang perlu dilihat adalah konteks historis dari beberapa hadits yang berisi larangan mengucapkan salam kepada orang non muslim (Yahudi), waktu itu karena didasari perasaan kebencian mereka terhadap Islam.
“Realitas di negara Indonesia dengan kemajemukan agama yang penuh harmoni dan co-existensi, kontras dengan suasana di mana larangan salam kepada non muslim disabdakan oleh nabi,” beber akademisi yang aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan tersebut.
Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik) (HR. Al-Bukhari). Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud, mengatakan, “Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan”.
Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam. Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian (Tafsir al-Qurthubi, 11/111). Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).
Kementerian Agama juga menilai salam lintas agama yang selama ini berkembang di kalangan masyarakat sebagai bagian praktik baik (best practise) merawat kerukunan umat. Salam lintas agama disampaikan bukan untuk merusak akidah antarumat, tapi berangkat dari kesadaran dari sikap saling menghormati dan toleran.
Dalam tiga tahun terakhir, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mengalami peningkatan. Pada 2021 sebesar 72,39, indeks naik menjadi 73,09 pada 2022. Sementara pada 2023, indeks KUB kembali naik menjadi 76,02. Ada tiga dimensi yang dipotret, yaitu toleransi dengan skor 74,47, kesetaraan dengan skor 77,61, dan kerja sama dengan skor 76,00.
“Misi Islam membumikan kedamaian, keselamatan kehidupan dan relasi hidup, penuh harmoni di tengah perbedaan. Hal ini menjadi argumen bahwa salam lintas agama sebagai ikhtiar menguatkan toleransi dan moderasi beragama,” beber dia.