SERAYUNEWS – Video viral pernikahan Agus Buntung, seorang narapidana yang menikah dari dalam penjara, membuat dunia maya kembali heboh.
Pernikahan itu menjadi sorotan lantaran mempelai pria diwakili oleh keris, senjata tradisional khas Nusantara, dalam prosesi adat Bali.
Sosok Agus sendiri bukan nama asing di publik—ia tengah menjalani hukuman 12 tahun penjara atas kasus pelecehan seksual.
Kisah ini menjadi perbincangan hangat, tidak hanya karena keunikan prosesi, tetapi juga karena status Agus sebagai terdakwa dalam kasus berat.
Meski menuai kontroversi, pernikahan Agus dengan Ni Luh Nopianti tetap berlangsung dengan adat yang diyakini sah oleh keluarga.
Pernikahan tersebut berlangsung secara adat di Bali. Sebilah keris hadir sebagai pengganti Agus, simbol kehadiran spiritual mempelai pria.
Keris dalam budaya Bali dipercaya memiliki kekuatan sakral dan dapat mewakili seseorang dalam ritual penting.
Kuasa hukum Agus, menjelaskan bahwa penggunaan keris adalah bentuk penyesuaian terhadap kondisi klien yang tidak bisa hadir secara fisik karena masih menjalani masa tahanan.
“Ini bagian dari adat yang tetap kami hargai. Keris dianggap sebagai roh atau semangat dari mempelai pria,” ujar sang pengacara.
Agus Buntung bukanlah sosok tanpa kontroversi. Ia adalah penyandang disabilitas yang kini mendekam di penjara atas kasus pelecehan seksual.
Agus mendapat vonis 12 tahun penjara setelah hakim meyataka ia bersalah melakukan tindakan tak senonoh terhadap sejumlah korban pelecehan seksual.
Kasusnya sempat mengundang simpati dan kecaman bersamaan. Sebagian masyarakat merasa kasihan karena ia seorang difabel, sementara banyak pula yang mengecam keras tindakannya yang tidak manusiawi.
Video prosesi pernikahan yang beredar di Instagram @fakta.indo langsung memicu reaksi netizen.
Ada yang menyayangkan keputusan mempelai wanita dan keluarganya, ada pula yang menganggap bahwa cinta sejati memang tak memandang kondisi, bahkan status hukum sekalipun.
Salah satu komentar berbunyi, “Gila, ini bukan cinta buta lagi, ini cinta yang nggak pakai logika.”
Sementara itu, lainnya menulis, “Kalau memang sudah cinta dan ikhlas, siapa kita yang bisa melarang?”
Netizen juga mempertanyakan kenapa seorang narapidana kasus seksual bisa tetap mendapatkan akses untuk menikah.
“Di mana letak moral dan keadilan jika pelaku pelecehan malah menikah dengan resepsi adat yang khidmat?” tulis akun lain di kolom komentar.
Pernikahan tetap sah secara agama dan adat meski mempelai pria tidak hadir.
Dari sisi hukum negara, pernikahan semacam ini bisa diakui jika telah tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Namun, hal ini juga membuka diskusi lebih luas mengenai etika dan kepantasan. Masyarakat menuntut adanya batasan moral dalam pemberian hak-hak sipil terhadap narapidana, terlebih dalam kasus yang menyangkut kekerasan seksual.
Kisah Agus Buntung dan Ni Luh Nopianti menjadi potret unik persinggungan antara adat, cinta, dan hukum.
Sementara itu, sebagian melihatnya sebagai bentuk kesetiaan yang langka. Kemudian, seagian lainnya mempertanyakan norma sosial dan keadilan.
Pernikahan ini bisa menjadi refleksi penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan berempati tanpa mengabaikan nilai moral dan hukum.
Akankah pernikahan ini menjadi awal baru bagi keduanya atau justru membuka bab baru dari kontroversi yang lebih besar? Hanya waktu yang bisa menjawab.***