Banyumas, serayunews.com
Anjloknya harga gabah ini disebabkan banyaknya bantuan sosial (bansos) yang diberikan secara terus – menerus. Beras bansos tersebut tidak dibeli dari para petani lokal.
Eko Widyatno, petani di Desa Notog, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas mengatakan, selain juga banyak petani yang panen, sehingga stok melimpah, anjloknya harga gabah juga dipicu banyaknya bansos yang merupakan beras impor.
“Banyak beras bansos beredar di masyarakat, sayangnya beras tersebut sebagian besar tidak dibeli dari petani lokal. Sehingga petani yang sekarang ini sedang banyak yang panen juga, kebingungan untuk menjual hasil panen,” katanya, Rabu (1/9).
Menurut Eko, penyerapan beras ataupun gabah dari Bulog Banyumas juga tidak terlalu banyak, karena Bulog sendiri masih memiliki stok yang cukup banyak dari pengadaan sebelumnya. Akibatnya, beberapa petani terpaksa menjual kepada pengepul beras yang datang ke lokasi-lokasi panen dengan harga rendah.
“Sekarang harga gabah basah hanya Rp 2.300 per kilogram, padahal harga bekatul Rp 3.500 per kilogram, jadi petani banyak yang merugi pada panen kali ini,” ucapnya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, sudah berlangsung cukup lama, sejak panen sebelumnya, harga gabah di tingkat petani juga sudah menurun, namun belum serendah saat ini. Pada panen sebelumnya harga sudah anjlok, tetapi masih di atas Rp 2.500 per kilogram untuk gabah basah.
Dengan anjloknya harga gabah tersebut, Eko mengaku hasil panen hanya bisa untuk menutup biaya produksi saja dan keuntungan yang diperoleh petani sangat sedikit. Sebab,ia harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1,2 juta untuk ongkos tenaga kerja. Kemudian ditambah dengan untuk membeli pupuk.
“Sawah saya 0,25 hektar, kemarin hasil panen 1 ton dan hasil penjualan hanya mendapatkan uang Rp 3 juta. Untuk ongkos tenaga kerja saat tanam hingga panen jika ditotal sampai Rp 1,2 juta, belum lagi untuk pembelian pupuk, bibit dan sebagainya,” pungkasnya.