Di masa lalu, wabah terjadi di Karesidenan Banyumas atau yang saat ini adalah area Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara. Beberapa kali wabah terjadi dan menelan banyak korban. Salah satu wabah yang mengerikan terjadi di lembah Serayu pada tahun 1845, 1847, 1849. Cilacap yang berada di tepi pantai dikenal sebagai daerah pusat wabah di masa itu.
Saat itu, tercatat ada 328 ribu jiwa meninggal dunia karena malaria. Banyaknya yang meninggal dunia karena lembah Serayu mulai padat penduduk. Dari ratusan ribu itu yang meninggal dunia, korban paling banyak dari Cilacap.
Diketahui, di daerah pantai, malaria lebih ganas daripada malaria pedalaman. Di daerah pantai masalah malaria kala itu terjadi tiap musim kemarau. Bahkan, dalam lima tahun sekali di masa itu, epidemic besar malaria menelan ratusan korban. Salah satu yang membuat Cilacap menjadi pusat wabah adalah karena berkembanganya pelabuhan di masa itu.
Apa yang terjadi di Karesidenan Banyumas itu membuat pemerintah Hindia Belanda tak tinggal diam. Saat itu, kepala jawatan kesehatan dr W Bosch mendapatkan tugas untuk membagikan pedoman singkat pada kepala desa. Pedoman dalam bahasa Jawa dan Melayu itu intinya adalah bagaimana agar tetap sehat.
Bahkan, juga diungkapkan cara memakai jamu pribumi dan obat-obat yang tidak mahal untuk melawan wabah. Kebijakan ini bukan hanya ada di Banyumas, tapi ada di Jawa. Sejak itulah kemudian muncul usul dari dr W Bosch pada pemerintah Hindia Belanda adalah mendidik pribumi untuk jadi dokter.
Mereka yang dididik adalah yang bisa membaca, menulis, dan memiliki bakat untuk kemudian dididik jadi dokter praktik. Mereka ini kemudian ditempatkan di rumah sakit militer. Ide Bosch itu muncul tahun 1847 dan terealisasi pada 1851.
Tahun 1851 dibuka sekolah dokter untuk pribumi di Jakarta. Syaratnya adalah orang Jawa yang baik dan bisa membaca dan menulis. Ada 12 orang yang kemudian menjalani pendidikan dokter tersebut selama dua tahun. Mereka mendapatkan 14 pengajaran.
Dari sekolah itu, mereka diharapkan memiliki ketrampilan tentang vaksinasi dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menolong orang yang sakit. Tahun 1853, mereka yang lulus disebut sebagai Dokter Jawa.
Tahun 1856, pendidikan dokter pribumi tak hanya diberikan pada mereka yang Jawa. Pada 1856, mulai dibuka kesempatan pada mereka yang berada di luar Jawa. Awalnya adalah dua orang dari Sumatera Barat dan dua orang dari Minahasa.
Dari musibah yang ada di Banyumas, ternyata memunculkan kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka sadar perlunya dokter dari pribumi. Maka, wabah di Banyumas menjadi salah satu pemicu munculnya dokter pribumi.
Referensi
Radiopoetro. Sejarah Dokter di Indonesia
Dina Dwikurniarini. Ekologi Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat Karesidenan Banyumas Masa Kolonial
P Bleecker. “ Fragmenten Eener Reis Over Java Door Binnenland van Midden Java Hoofdstuk XIII Poerworedjo naar Banjoemas” dalam Tijdschrijf voor Nederlandsch Indie II adl. 7, 1850.
P Bleecker. “The Development of Colonial Health Care in Java: an Exploratory Introduction”, Bijdragen tot de Taal Land-en Volkenkunde KITLV 1993, deel 149.
G.W. Kiewiet de Jonge. “Tjilatjap als Malariahaard” Geneeskundige Tijdschriijft voor Nederlandsch-Indie, Deel XLII. Batavia: Java Boekh & Drukkerij, 1902.