SERAYUNEWS- Bagi setiap keluarga, rumah bukan hanya simbol kemapanan, melainkan kebutuhan mendasar yang menentukan kualitas hidup.
Lebih dari sekadar tempat berteduh, rumah menjadi ruang membangun kasih sayang, menjaga stabilitas psikologis, dan memperkuat hubungan sosial.
Dalam teori kebutuhan dasar Maslow, hunian termasuk kategori kebutuhan fisiologis sekaligus keamanan. Islam bahkan menempatkan rumah dalam maqashid al-syariah, yaitu penjagaan jiwa (hifzh al-nafs) dan keturunan (hifzh al-nasl).
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, menjelaskan, realitas di lapangan menunjukkan harga tanah dan properti terus melambung, tidak sebanding dengan kenaikan upah masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap backlog perumahan nasional telah melampaui 12 juta rumah tangga. Kondisi ini membuat program rumah subsidi menjadi salah satu prioritas pemerintah.
Melalui Kementerian PUPR, pemerintah menjalankan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pada 2025, target pembangunan mencapai 350.000 unit rumah hanya dalam semester pertama, dengan alokasi anggaran Rp18,8 triliun.
Program ini menawarkan uang muka ringan dan bunga tetap 5% hingga masa pelunasan. “Dalam perspektif ekonomi konvensional, kebijakan ini adalah bentuk intervensi fiskal negara untuk mengatasi kegagalan pasar di sektor perumahan,” ujarnya.
Namun, dalam praktiknya, keberpihakan terhadap MBR kerap tidak berjalan sesuai rencana.
Dia menyebutkan, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ribuan rumah subsidi tidak dihuni meski akad KPR telah dilakukan. Di Bekasi dan Cikarang, banyak unit kosong bahkan mangkrak.
Ironisnya, sebagian penerima KPR subsidi bukan MBR. Ada yang memiliki lebih dari satu rumah subsidi atau melakukan over kredit ilegal tanpa persetujuan bank.
“Menurut hukum syariah, praktik ini tidak sah. Penelitian Ismail Ajis (2025) menegaskan bahwa over kredit di bawah tangan tidak memenuhi syarat akad ḥiwālah (alih utang) karena dilakukan tanpa persetujuan pihak bank (muhtal). Hal ini bertentangan dengan prinsip fiqh muamalah,” jelasnya.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menjelaskan dalam ekonomi syariah, pembiayaan rumah dapat menggunakan akad murabahah.
Bank membeli rumah dari pengembang, lalu menjual kepada nasabah dengan harga pokok ditambah margin yang disepakati di awal. Berbeda dari bunga konvensional, margin murabahah bersifat tetap dan transparan.
Sayangnya, sebagian bank syariah masih mengacu pada suku bunga konvensional untuk menetapkan margin. Bahkan, tidak semua nasabah mendapat penjelasan rinci, sehingga menimbulkan persepsi bahwa bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional.
Padahal, Islam menuntut kejujuran (sidiq), transparansi (al-wudhuh), dan keadilan (‘adl) dalam setiap transaksi. Rasulullah SAW bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi)
Selain masalah akad, kualitas rumah subsidi juga menjadi sorotan. Studi Findaria Nur Fidianti (2023) di Kabupaten Maros menemukan keluhan serius: air berminyak, wilayah rawan banjir, hingga dinding mudah retak.
Indeks kepuasan penghuni bahkan mencatat nilai minus (-0,42). Dalam perspektif maslahah Islam, rumah subsidi tidak bisa disebut maslahat jika tidak aman dan sehat, meskipun harganya murah.
Untuk mewujudkan rumah subsidi yang berkeadilan, kebijakan tidak hanya mengejar kuantitas unit, tetapi juga kualitas dan ketepatan sasaran. Beberapa langkah yang Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy rekomendasikan antara lain:
⦁ Menegakkan asas syariah dalam akad murabahah tanpa merujuk pada bunga pasar.
⦁ Melakukan audit independen berbasis fiqh muamalah untuk mencegah akad batil.
⦁ Mengintegrasikan verifikasi NIK dan data kepemilikan rumah untuk mencegah penerima ganda.
⦁ Memberikan edukasi publik tentang perbedaan margin syariah dan bunga riba.
⦁ Menerapkan sertifikasi halal pada sektor perumahan, meliputi akad, kualitas bangunan, dan lingkungan.
Rumah subsidi merupakan bukti kehadiran negara dalam memenuhi hak dasar warganya. Dalam ekonomi Islam, rumah adalah amanah yang mengandung nilai moral dan spiritual.
Karena itu, dari pembuat kebijakan hingga penghuni, semua pihak memiliki tanggung jawab menjadikan rumah sebagai tempat rahmah (kasih sayang), bukan sekadar bangunan kosong tanpa makna.
Memadukan kebijakan negara dengan prinsip ekonomi syariah bukanlah angan-angan, tetapi peluang nyata untuk menciptakan sistem perumahan yang tidak hanya membangun tembok, melainkan juga menegakkan nilai dan martabat hidup manusia.