SERAYUNEWS– Ada Wiji Thukul di Petisi Bulaksumur. Hmm, ada apa, ya?
“Bansos terasa asam di lidahku. Kami tetap lapar dan dahaga. Wahai penguasa kami menunggu kehadiranmu dan kami lapar. Bagi orang-orang lapar tidak ada kata-kata lain kecuali: lawan!.”
Penggalan puisi karya Wahyudi Kumorotomo, Guru Besar Kebijakan Publik UGM berjudul “Wahai Penguasa Kami Lapar”. Kata lawan seolah mendatangkan semangat Wiki Thukul.
Wahyudi bacakan langsung puisi tersebut saat penutupan acara Petisi Bulaksumur pada Rabu, 31 Januari 2024.
Petisi Bulaksumur dilakukan oleh Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Mereka berkumpul di Balairung UGM menyampaikan petisi untuk mengingatkan Jokowi.
Mereka menyinggung skandal Mahkamah Konstitusi (MK) hingga aksi cawa-cawe Jokowi yang kebablasan.
UGM saat ini memang sedang mengalami ujian keabsahan sebagai Kampus Rakyat. Karena selain Jokowi, tedapat dua pasang capres-cawapres yang akan bertarung dalam konstestasi Pilpres 2024 yakni Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang juga merupakan lulusan UGM.
UGM memang mewarnai politik Indonesia, tetapi apakah UGM akan diam melihat alumninya keluar dari etika dan moral demokrasi?
“Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada: bagi kami almamater kuberjanji setia, kupenuhi dharma bhakti untuk ibu pertiwi, dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku, kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara,” lanjut petisi tersebut, merujuk pada Himne Gadjah Mada.
Petisi Bulaksumur meminta dan menuntut Jokowi, aparat penegak hukum, semua pejabat negara, dan aktor politik yang berada di belakang presiden untuk segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan serta keadilan sosial. Mereka juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap dan langkah nyata menyikapi gejolak politik dalam Pemilu 2024.
Menariknya, di acara ini salah satu civitas akademika, Heru, membacakan puisi karya aktivis ’98 yang hilang, Wiji Thukul, pada 1986 yang berjudul “Peringatan”.
“.. Bila rakyat berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka, hanya ada satu kata: lawan!”
Nah, perlawanan dengan menggunakan puisi di Petisi ini sudah sangat tepat.
Seperti kata John F Kennedy, “Tatkala kuasa mengarahkan orang pada kepongahan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Tatkala kuasa menyempitkan ruang kepedulian orang, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman hidupnya. Tatkala kuasa korup, puisi membersihkannya.”
Lebih dari itu, kehadiran puisi Wiji Thukul seolah mengingatkan kita seorang penyair hadir, dalam istilah Wallace Stevens, sebagai the priest of the invisible, untuk mengeluarkan terang dari gelap, membawa matahari kesadaran atas kebebalan kekuasaan. *** (O Gozali)